Itsmeh96

Mobil taxi yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah bergaya industrial tropis. Rumah itu memiliki halaman luas berhiaskan bunga Bougainvillea. Helios membopong tubuh Renan ketika lelaki itu tak kunjung menggerakan tubuhnya untuk turun.

Tak ada yang bersuara ketika Helios berjalan memasuki rumah dengan melewati jalan setapak yang membelah taman kecil. Sepertinya Renan sudah lelah sendiri setelah berteriak, memberontak dan menjambak rambut Helios dengan brutal.

“Ambilin kuncinya di saku belakang gue,” Titah Helios yang sudah terlihat kepayahan, tapi Renan malah terus menguji kesabarannya dengan menggerakan bibirnya untuk mengolok. “Lo mau gue lempar ke kolam ikan?”

Renan melirik kolam ikan kecil yang sudah ditinggalkan penghuninya, “Lempar aja kalo berani gue bakal tarik– W-WOY!”

Helios mengambil ancang-ancang seolah akan melempar tubuh Renan ke sana. “Tega banget, manusia macam apa yang mau lempar gue ke kolam ikan!?” Cerocos Renan seraya merogoh saku belakang, tapi sekali lagi Renan menguji kesabarannya dengan meraba pantat Helios. “Nice ass heh, pantes aja si Nathan udah susah gue ancem, pantat lo lebih montok dari semua mantannya.”

Helios cuma memutar bola matanya jengkel lalu membalasnya dengan meremas pantat Renan kuat-kuat. Sangat kuat sampai-sampai membuat lelaki itu terperanjat kaget sambil mengumpat, “JANCOK!”

“Daripada pantat lo tepos.”

Renan siap menyumpahinya, tapi tak jadi dan hanya menghadiahinya tatapan jengkel.

Helios tersenyum tipis seraya membawa tubuh Renan masuk ke dalam rumah begitu lelaki itu memutar anak kunci untuk membuka pintu. “Tunggu di sini,” Katanya setelah mendudukan Renan di sofa.

Selama menunggu, Renan melihat sekeliling rumah itu. Ada banyak foto dan piagam yang mendominasi sebagai interior ruangan. Saat sedang asik melihat-lihat, Helios datang membawa kotak p3k. “Lurusin kaki lo,”

Untungnya kali ini Renan langsung menurut. Ia membiarkan Helios mengobati Luka di kakinya yang sebenernya tak terlalu parah. “Sejak kapan?”

Renan terlihat bingung dengan pertanyaan Helios yang tiba-tiba, “Sejak kapan dia lakuin hal begini?

Raut wajah Renan berubah sendu, tapi tak berlangsung lama karena ia malah balik bertanya, “Kenapa lo nolongin gue?” Katanya dengan nada mengejek, “Oh atau lu ternyata naks-aw aw! Sakit sat!” Ringis Renan ketika Helios menekan luka di kakinya.

Helios dengan telaten mengobati lukanya, dari membersihkan luka sayatan yang terkoyak akibat hantaman benda berat pun runcing di ujung. Ia masih mengingat bagaimana ia mendengar lelaki di hadapannya itu menjerit; begitu putus asa dan terdengar memilukan.

Apa yang membuat mereka terjebak dalam hubungan seperti itu? Helios ingin bertanya, ia ingin tahu… mengapa Renan begitu terobsesi? Mengapa Nathan terlihat menahan diri?

Tapi begitu melihat wajah Renan, yang lelah dan nampak kehilangan sinarnya tidak seperti saat ia melihat lelaki itu di Sagana, ia urung…

“Jangan mengasihani gue,” Renan menundukan pandangan, melihat kakinya yang sekarang selesai diperban, “Demi Tuhan jangan kasihani gue.”

“Why?” Tanya Helios cepat tanpa berfikir.

“Gue ga butuh dikasihani lo, atau siapapun.”

“Why?”

“Don't ask me why–”

“Why?”

“Gue bilang jangan tanya kenapa–”

Renan yang kesal akhirnya mendongak dan saat itulah tatapan mereka bertemu. Helios seolah sedang menyelami pusat galaxy yang terpantul dari binar dan berporos pada satu titik indah…

Lalu katanya dengan nada setengah berbisik,

“Why?”

Binar itu tampak bingung, “What do you mean why?”

Why am I doing this?

Really… Why am I doing this?

Renan, I should've hated you.. but why can't I?

Why?

Mereka saling tatap satu sama lain cukup lama hingga akhirnya Renan memalingkan wajahnya lebih dulu, “You know what? Lo ga seburuk apa yang gue duga saat pertama kali gue lihat.”

“Yeah?”

“Jadi gue pikir,” Renan menyunggingkan sebuah senyuman. “We should have a fun time together sometimes, If you want.”

“What?”

“Lo sendiri 'kan udah tau kalo Nathan masih suka main belakang—”

“Sama lo.” Aneh sekali rasanya Helios lancar mengatakan itu.

Renan mengangguk tak tahu malu, “Sama gue,” sudut bibirnya terangkat naik, “Jadi kenapa lo ga main belakang juga?”

“What–”

Senyuman Renan semakin menjadi, “Sama gue.”

What the actual FUCK??

“Nnngh.”

“Shut up, don't make a sound.” Nathan mendorong tubuh Renan hingga punggung lelaki itu membentur dinding cukup keras dan membuatnya meringis.

“No- no, don't look away,” Renan mencoba merengkuh tubuh Nathan namun sia-sia saat tubuhnya kembali didorong dan membentur dinding untuk kedua kali, “Fuck, shit-”

Nathan mencengkram dagu Renan dengan sebelah tangan, “Why would you always make me do this?”

“Do what?” Jawab Renan congak, “This?” Lanjutnya seraya meremas penis Nathan dari balik celana jeansnya.

Tangan Nathan yang bebas langsung menepisnya dengan kasar membuat Renan sedikit sakit hati, tapi ia tak berhenti sampai situ, sebelah kakinya ia lingkarkan ke pinggang Nathan, “Kiss me again.” Titahnya seraya menggesekan selangkangan mereka.

“Fuck no.” Nathan menjauhkan wajahnya, “You have to stop doing this, Renan.”

Tapi Renan seolah tuli, ia melesakan sebelah tangannya ke balik kaos Nathan untuk meraba punggung lelaki itu. “And what if I said… I don't want to?”

Jika boleh jujur, Renan sedikit menciut saat melihat tatapan Nathan yang berkilat marah. “Then I have no choice.”

Nathan dengan kasar melepas pelukan Renan dan membanting tubuh lelaki itu hingga membentur wastafel, tak sampai situ, sebuah pot dari porselen jatuh dan menimpa kakinya.

“FUCK!! FUCK!!” Jeritnya akan rasa sakit yang mendera, “THAT WAS HURT –FUCK YOU!” Renan mengerang, tapi lebih dari itu hatinya mencelos saat melihat Nathan hendak melengos pergi.

“NO NO DON'T GO!!”

Teriakan Renan yang Helios dengar menggema di sepenjuru lorong kecil menuju toilet. Dirinya sekarang bersembunyi dibalik tembok menghadap pintu keluar.

“Lo bisa stop ga, Ren?” Suara Nathan terdengar kesal, “Harusnya lo tuh ga da di sini!”

“Jangan tolak gue! Nathan! Dengerin gue!”

Helios tak bisa melihat seperti apa, tapi suara keras menghantam lantai serta disusul jeritan Renan berikutnya cukup untuk buat ia menahan napas.

“Bohong!! Gue tau lo masih suka sama gue!”

“Ren, cukup.” Nathan menggeram kesal. “Lo harus berhenti. Gua udah capek.”

“Buktinya lo barusan cemburu liat gue sama Mahen!”

Helios nampak begitu bingung, ia kira dirinya hanya akan mendapati mereka bercumbu atau semacamnya.. tapi apa ini? Mereka bertengkar?

“Renan,” Suara Nathan terdengar pelan, Helios bahkan harus menggeser tubuhnya lebih dekat. “Stop lakuin hal bodoh, stop ngejar gue!”

“No!!! Nathan! Brengsek jangan pergi!!”

Helios memutar tubuhnya ke balik pot tanaman yang tinggi untuk bersembunyi saat Nathan membuka pintu kamar mandi membantingnya. Dilihatnya punggung Nathan kini menghilang dibalik pintu kaca keluar.

“Ah, brengsek– brengsek,” Sumpah serapah Renan berubah rintihan dan isakan.

Helios mematung di tempatnya tak tahu apa yang harus ia lakukan, tapi anehnya ia tak ada keinginan untuk pergi menyusul Nathan. Tak lama kemudian langkah kakinya membawa ia berjalan menuju Renan yang sedang terduduk menangisi keadaan kakinya.

“What?” Keadaan Renan terlihat kacau, padahal lelaki itu masih tampak baik-baik saja beberapa menit lalu. “Pergi lo brengsek, jangan malah liatin gue– w-what–” Tubuh Renan diangkat dengan enteng seperti karung beras. “What the hell are you doing? Let go of me you motherfucker–”

“Just shut up!”

“What the–” Mata Renan membulat tak percaya lalu tangannya menjambak rambut Helios dengan kuat, “Anjing turunin gue ga? mau lo apa bawa-bawa gua seenaknya??! Lo denger gue ga!!?”

“Taxi!!”

Mobil taxi yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah bergaya industrial tropis. Rumah itu memiliki halaman luas berhiaskan bunga Bougainvillea. Helios membopong tubuh Renan ketika lelaki itu tak kunjung menggerakan tubuhnya untuk turun.

Tak ada yang bersuara ketika Helios berjalan memasuki rumah dengan melewati jalan setapak yang membelah taman kecil. Sepertinya Renan sudah lelah sendiri setelah berteriak, memberontak dan menjambak rambut Helios dengan brutal.

“Ambilin kuncinya di saku belakang gue,” Titah Helios yang sudah terlihat kepayahan, tapi Renan malah terus menguji kesabarannya dengan menggerakan bibirnya untuk mengolok. “Lo mau gue lempar ke kolam ikan?”

Renan melirik kolam ikan kecil yang sudah ditinggalkan penghuninya, “Lempar aja kalo berani gue bakal tarik– W-WOY!”

Helios mengambil ancang-ancang seolah akan melempar tubuh Renan ke sana. “Tega banget, manusia macam apa yang mau lempar gue ke kolam ikan!?” Cerocos Renan seraya merogoh saku belakang, tapi sekali lagi Renan menguji kesabarannya dengan meraba pantat Helios. “Nice ass heh, pantes aja si Nathan udah susah gue ancem, pantat lo lebih montok dari semua mantannya.”

Helios cuma memutar bola matanya jengkel lalu membalasnya dengan meremas pantat Renan kuat-kuat. Sangat kuat sampai-sampai membuat lelaki itu terperanjat kaget sambil mengumpat, “JANCOK!”

“Daripada pantat lo tepos.”

Renan siap menyumpahinya, tapi tak jadi dan hanya menghadiahinya tatapan jengkel.

Helios tersenyum tipis seraya membawa tubuh Renan masuk ke dalam rumah begitu lelaki itu memutar anak kunci untuk membuka pintu. “Tunggu di sini,” Katanya setelah mendudukan Renan di sofa.

Selama menunggu, Renan melihat sekeliling rumah itu. Ada banyak foto dan piagam yang mendominasi sebagai interior ruangan. Saat sedang asik melihat-lihat, Helios datang membawa kotak p3k. “Lurusin kaki lo,”

Untungnya kali ini Renan langsung menurut. Ia membiarkan Helios mengobati Luka di kakinya yang sebenernya tak terlalu parah. “Sejak kapan?”

Renan terlihat bingung dengan pertanyaan Helios yang tiba-tiba, “Sejak kapan dia lakuin hal begini?

Raut wajah Renan berubah sendu, tapi tak berlangsung lama karena ia malah balik bertanya, “Kenapa lo nolongin gue?” Katanya dengan nada mengejek, “Oh atau lu ternyata naks-aw aw! Sakit sat!” Ringis Renan ketika Helios menekan luka di kakinya.

Helios dengan telaten mengobati lukanya, dari membersihkan luka sayatan yang terkoyak akibat hantaman benda berat pun runcing di ujung. Ia masih mengingat bagaimana ia mendengar lelaki di hadapannya itu menjerit; begitu putus asa dan terdengar memilukan.

Apa yang membuat mereka terjebak dalam hubungan seperti itu? Helios ingin bertanya, ia ingin tahu… mengapa Renan begitu terobsesi? Mengapa Nathan terlihat menahan diri?

Tapi begitu melihat wajah Renan, yang lelah dan nampak kehilangan sinarnya tidak seperti saat ia melihat lelaki itu di Sagana, ia urung…

“Jangan mengasihani gue,” Renan menundukan pandangan, melihat kakinya yang sekarang selesai diperban, “Demi Tuhan jangan kasihani gue.”

“Why?” Tanya Helios cepat tanpa berfikir.

“Gue ga butuh dikasihani lo, atau siapapun.”

“Why?”

“Don't ask me why–”

“Why?”

“Gue bilang jangan tanya kenapa–”

Renan yang kesal akhirnya mendongak dan saat itulah tatapan mereka bertemu. Helios seolah sedang menyelami pusat galaxy yang terpantul dari binar dan berporos pada satu titik indah…

Lalu katanya dengan nada setengah berbisik,

“Why?”

Binar itu tampak bingung, “What do you mean why?”

*Why am I doing this?

Really… Why am I doing this?

Renan, I should've hated you.. but why can't I?

Why?*

Mereka saling tatap satu sama lain cukup lama hingga akhirnya Renan memalingkan wajahnya lebih dulu, “You know what? Lo ga seburuk apa yang gue duga saat pertama kali gue lihat.”

“Yeah?”

“Jadi gue pikir,” Renan menyunggingkan sebuah senyuman. “We should have a fun time together sometimes, If you want.”

“What?”

“Lo sendiri 'kan udah tau kalo Nathan masih suka main belakang—”

“Sama lo.” Aneh sekali rasanya Helios lancar mengatakan itu.

Renan mengangguk tak tahu malu, “Sama gue,” sudut bibirnya terangkat naik, “Jadi kenapa lo ga main belakang juga?”

“What–”

Senyuman Renan semakin menjadi, “Sama gue.”

What the actual FUCK??

Mobil taxi yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah bergaya industrial tropis. Rumah itu memiliki halaman luas berhiaskan bunga Bougainvillea. Helios membopong tubuh Renan ketika lelaki itu tak kunjung menggerakan tubuhnya untuk turun.

Tak ada yang bersuara ketika Helios berjalan memasuki rumah dengan melewati jalan setapak yang membelah taman kecil. Sepertinya Renan sudah lelah sendiri setelah berteriak, memberontak dan menjambak rambut Helios dengan brutal.

“Ambilin kuncinya di saku belakang gue,” Titah Helios yang sudah terlihat kepayahan, tapi Renan malah terus menguji kesabarannya dengan menggerakan bibirnya untuk mengolok. “Lo mau gue lempar ke kolam ikan?”

Renan melirik kolam ikan kecil yang sudah ditinggalkan penghuninya, “Lempar aja kalo berani gue bakal tarik– W-WOY!”

Helios mengambil ancang-ancang seolah akan melempar tubuh Renan ke sana. “Tega banget, manusia macam apa yang mau lempar gue ke kolam ikan!?” Cerocos Renan seraya merogoh saku belakang, tapi sekali lagi Renan menguji kesabarannya dengan meraba pantat Helios. “Nice ass heh, pantes aja si Nathan udah susah gue ancem, pantat lo lebih montok dari semua mantannya.”

Helios cuma memutar bola matanya jengkel lalu membalasnya dengan meremas pantat Renan kuat-kuat. Sangat kuat sampai-sampai membuat lelaki itu terperanjat kaget sambil mengumpat, “JANCOK!”

“Daripada pantat lo tepos.”

Renan siap menyumpahinya, tapi tak jadi dan hanya menghadiahinya tatapan jengkel.

Helios tersenyum tipis seraya membawa tubuh Renan masuk ke dalam rumah begitu lelaki itu memutar anak kunci untuk membuka pintu. “Tunggu di sini,” Katanya setelah mendudukan Renan di sofa.

Selama menunggu, Renan melihat sekeliling rumah itu. Ada banyak foto dan piagam yang mendominasi sebagai interior ruangan. Saat sedang asik melihat-lihat, Helios datang membawa kotak p3k. “Lurusin kaki lo,”

Untungnya kali ini Renan langsung menurut. Ia membiarkan Helios mengobati Luka di kakinya yang sebenernya tak terlalu parah. “Sejak kapan?”

Renan terlihat bingung dengan pertanyaan Helios yang tiba-tiba, “Sejak kapan dia lakuin hal begini?”

Raut wajah Renan berubah sendu, tapi tak berlangsung lama karena ia malah balik bertanya, “Kenapa lo nolongin gue?” Katanya dengan nada mengejek, “Oh atau lu ternyata naks-aw aw! Sakit sat!” Ringis Renan ketika Helios menekan luka di kakinya.

Helios dengan telaten mengobati lukanya, dari membersihkan luka sayatan yang terkoyak akibat hantaman benda berat pun runcing di ujung. Ia masih mengingat bagaimana ia mendengar lelaki di hadapannya itu menjerit; begitu putus asa dan terdengar memilukan.

Apa yang membuat mereka terjebak dalam hubungan seperti itu? Helios ingin bertanya, ia ingin tahu… mengapa Renan begitu terobsesi? Mengapa Nathan terlihat menahan diri?

Tapi begitu melihat wajah Renan, yang lelah dan nampak kehilangan sinarnya seperti saat ia melihat lelaki itu di Sagana, ia urung…

“Jangan mengasihani gue,” Renan menundukan pandangan, melihat kakinya yang sekarang selesai diperban, “Demi Tuhan jangan kasihani gue.”

“Why?” Tanya Helios cepat tanpa berfikir.

“Gue ga butuh dikasihani lo, atau siapapun.”

“Why?”

“Don't ask me why–”

“Why?”

“Gue bilang jangan tanya kenapa–”

Renan yang kesal akhirnya mendongak dan saat itulah tatapan mereka bertemu. Helios seolah sedang menyelami pusat galaxy yang terpantul dari binar dan berporos pada satu titik indah…

Lalu katanya dengan nada setengah berbisik,

“Why?”

Binar itu tampak bingung, “What do you mean why?”

*Why am I doing this?

Really… Why am I doing this?

Renan, I should've hated you.. but why can't I?

Why?*

Mereka saling tatap satu sama lain cukup lama hingga akhirnya Renan memalingkan wajahnya lebih dulu, “You know what? Lo ga seburuk apa yang gue duga saat pertama kali gue lihat.”

“Yeah?”

“Jadi gue pikir,” Renan menyunggingkan sebuah senyuman. “We should have a fun time together sometimes, If you want.”

“What?”

“Lo sendiri 'kan udah tau kalo Nathan masih suka main belakang—”

“Sama lo.” Aneh sekali rasanya Helios lancar mengatakan itu.

Renan mengangguk tak tahu malu, “Sama gue,” sudut bibirnya terangkat naik, “Jadi kenapa lo ga main belakang juga?”

“What–”

Senyuman Renan semakin menjadi, “Sama gue.”

What the actual FUCK??

Mobil taxi yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah bergaya industrial tropis. Rumah itu memiliki halaman luas berhiaskan bunga Bougainvillea. Helios membopong tubuh Renan ketika lelaki itu tak kunjung menggerakan tubuhnya untuk turun.

Tak ada yang bersuara ketika Helios berjalan memasuki rumah dengan melewati jalan setapak yang membelah taman kecil. Sepertinya Renan sudah lelah sendiri setelah berteriak, memberontak dan menjambak rambut Helios dengan brutal.

“Ambilin kuncinya di saku belakang gue,” Titah Helios yang sudah terlihat kepayahan, tapi Renan malah terus menguji kesabarannya dengan menggerakan bibirnya untuk mengolok. “Lo mau gue lempar ke kolam ikan?”

Renan melirik kolam ikan kecil yang sudah ditinggalkan penghuninya, “Lempar aja kalo berani gue bakal tarik– W-WOY!”

Helios mengambil ancang-ancang seolah akan melempar tubuh Renan ke sana. “Tega banget, manusia macam apa yang mau lempar gue ke kolam ikan!?” Cerocos Renan seraya merogoh saku belakang, tapi sekali lagi Renan menguji kesabarannya dengan meraba pantat Helios. “Nice ass heh, pantes aja si Nathan udah susah gue ancem, pantat lo lebih montok dari semua mantannya.”

Helios cuma memutar bola matanya jengkel lalu membalasnya dengan meremas pantat Renan kuat-kuat. Sangat kuat sampai-sampai membuat lelaki itu terperanjat kaget sambil mengumpat, “JANCOK!”

“Daripada pantat lo tepos.”

Renan siap menyumpahinya, tapi tak jadi dan hanya menghadiahinya tatapan jengkel.

Helios tersenyum tipis seraya membawa tubuh Renan masuk ke dalam rumah begitu lelaki itu memutar anak kunci untuk membuka pintu. “Tunggu di sini,” Katanya setelah mendudukan Renan di sofa.

Selama menunggu, Renan melihat sekeliling rumah itu. Ada banyak foto dan piagam yang mendominasi sebagai interior ruangan. Saat sedang asik melihat-lihat, Helios datang membawa kotak p3k. “Lurusin kaki lo,”

Untungnya kali ini Renan langsung menurut. Ia membiarkan Helios mengobati Luka di kakinya yang sebenernya tak terlalu parah. “Sejak kapan?”

Renan terlihat bingung dengan pertanyaan Helios yang tiba-tiba, “Sejak kapan dia lakuin hal begini?”

Raut wajah Renan berubah sendu, tapi tak berlangsung lama karena ia malah balik bertanya, “Kenapa lo nolongin gue?” Katanya dengan nada mengejek, “Oh atau lu ternyata naks-aw aw! Sakit sat!” Ringis Renan ketika Helios menekan luka di kakinya.

Helios dengan telaten mengobati lukanya, dari membersihkan luka sayatan yang terkoyak akibat hantaman benda berat pun runcing di ujung. Ia masih mengingat bagaimana ia mendengar lelaki di hadapannya itu menjerit; begitu putus asa dan terdengar memilukan.

Apa yang membuat mereka terjebak dalam hubungan seperti itu? Helios ingin bertanya, ia ingin tahu… mengapa Renan begitu terobsesi? Mengapa Nathan terlihat menahan diri?

Tapi begitu melihat wajah Renan, yang lelah dan nampak kehilangan sinarnya seperti saat ia melihat lelaki itu di Sagana, ia urung…

“Jangan mengasihani gue,” Renan menundukan pandangan, melihat kakinya yang sekarang selesai diperban, “Demi Tuhan jangan kasihani gue.”

“Why?” Tanya Helios cepat tanpa berfikir.

“Gue ga butuh dikasihani lo, atau siapapun.”

“Why?”

“Don't ask me why–”

“Why?”

“Gue bilang jangan tanya kenapa–”

Renan yang kesal akhirnya mendongak dan saat itulah tatapan mereka bertemu. Helios seolah sedang menyelami pusat galaxy yang terpantul dari binar dan berporos pada satu titik indah…

Lalu katanya dengan nada setengah berbisik,

“Why?”

Binar itu tampak bingung, “What do you mean why?”

*Why am I doing this?

Really… Why am I doing this?

Renan, I should've hated you.. but why can't I?

Why?*

Mereka saling tatap satu sama lain cukup lama hingga akhirnya Renan memalingkan wajahnya lebih dulu, “You know what? Lo ga seburuk apa yang gue duga saat pertama kali gue lihat.”

“Yeah?”

“Jadi gue pikir,” Renan menyunggingkan sebuah senyuman. “We should have a fun time together sometimes, If you want.”

“What?”

“Lo sendiri 'kan udah tau kalo Nathan masih suka main belakang—”

“Sama lo.” Aneh sekali rasanya Helios lancar mengatakan itu.

Renan mengangguk tak tahu malu, “Sama gue,” sudut bibirnya terangkat naik, “Jadi kenapa lo ga main belakang juga?”

“What–”

Senyuman Renan semakin menjadi, “Sama gue.”

What the actual FUCK??

Mobil taxi yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah bergaya industrial tropis, Rumah itu memiliki halaman luas berhiaskan bunga Bougainvillea. Helios membopong tubuh Renan ketika lelaki itu tak kunjung menggerakan tubuhnya untuk turun.

Tak ada yang bersuara ketika Helios berjalan memasuki rumah dengan melewati jalan setapak yang membelah taman kecil. Sepertinya Renan sudah lelah sendiri setelah berteriak, memberontak dan menjambak rambut Helios dengan brutal.

“Ambilin kuncinya di saku belakang gue,” Titah Helios yang sudah terlihat kepayahan, tapi Renan malah terus menguji kesabarannya dengan menggerakan bibirnya untuk mengolok. “Lo mau gue lempar ke kolam ikan?”

Renan melirik kolam ikan kecil yang sudah ditinggalkan penghuninya, “Lempar aja kalo berani gue bakal tarik– W-WOY!”

Helios mengambil ancang-ancang seolah akan melempar tubuh Renan ke sana. “Tega banget, manusia macam apa yang mau lempar gue ke kolam ikan!?” Cerocos Renan seraya merogoh saku belakang, tapi sekali lagi Renan menguji kesabarannya dengan meraba pantat Helios. “Nice ass heh, pantes aja si Nathan udah susah gue ancem, pantat lo lebih montok dari semua mantannya.”

Helios cuma memutar bola matanya jengkel lalu membalasnya dengan meremas pantat Renan kuat-kuat. Sangat kuat sampai-sampai membuat lelaki itu terperanjat kaget sambil mengumpat, “JANCOK!”

“Daripada pantat lo tepos.”

Renan siap menyumpahinya, tapi tak jadi dan hanya menghadiahinya tatapan jengkel.

Helios tersenyum tipis seraya membawa tubuh Renan masuk ke dalam rumah begitu lelaki itu memutar anak kunci untuk membuka pintu. “Tunggu di sini,” Katanya setelah mendudukan Renan di sofa.

Selama menunggu, Renan melihat sekeliling rumah itu. Ada banyak foto dan piagam yang mendominasi sebagai interior ruangan. Saat sedang asik melihat-lihat, Helios datang membawa kotak p3k. “Lurusin kaki lo,”

Untungnya kali ini Renan langsung menurut. Ia membiarkan Helios mengobati Luka di kakinya yang sebenernya tak terlalu parah. “Sejak kapan?”

Renan terlihat bingung dengan pertanyaan Helios yang tiba-tiba, “Sejak kapan dia lakuin hal begini?”

Raut wajah Renan berubah sendu, tapi tak berlangsung lama karena ia malah balik bertanya, “Kenapa lo nolongin gue?” Katanya dengan nada mengejek, “Oh atau lu ternyata naks-aw aw! Sakit sat!” Ringis Renan ketika Helios menekan luka di kakinya.

Helios dengan telaten mengobati lukanya, dari membersihkan luka sayatan yang terkoyak akibat hantaman benda berat pun runcing di ujung. Ia masih mengingat bagaimana ia mendengar lelaki di hadapannya itu menjerit; begitu putus asa dan terdengar memilukan.

Apa yang membuat mereka terjebak dalam hubungan seperti itu? Helios ingin bertanya, ia ingin tahu… mengapa Renan begitu terobsesi? Mengapa Nathan terlihat menahan diri?

Tapi begitu melihat wajah Renan, yang lelah dan nampak kehilangan sinarnya seperti saat ia melihat lelaki itu di Sagana, ia urung…

“Jangan mengasihani gue,” Renan menundukan pandangan, melihat kakinya yang sekarang selesai diperban, “Demi Tuhan jangan kasihani gue.”

“Why?” Tanya Helios cepat tanpa berfikir.

“Gue ga butuh dikasihani lo, atau siapapun.”

“Why?”

“Don't ask me why–”

“Why?”

“Gue bilang jangan tanya kenapa–”

Renan yang kesal akhirnya mendongak dan saat itulah tatapan mereka bertemu. Helios seolah sedang menyelami pusat galaxy yang terpantul dari binar dan berporos pada satu titik indah…

Lalu katanya dengan nada setengah berbisik,

“Why?”

Binar itu tampak bingung, “What do you mean why?”

*Why am I doing this?

Really… Why am I doing this?

Renan, I should've hated you.. but why can't I?

Why?*

Mereka saling tatap satu sama lain cukup lama hingga akhirnya Renan memalingkan wajahnya lebih dulu, “You know what? Lo ga seburuk apa yang gue duga saat pertama kali gue lihat.”

“Yeah?”

“Jadi gue pikir,” Renan menyunggingkan sebuah senyuman. “We should have a fun time together sometimes, If you want.”

“What?”

“Lo sendiri 'kan udah tau kalo Nathan masih suka main belakang—”

“Sama lo.” Aneh sekali rasanya Helios lancar mengatakan itu.

Renan mengangguk tak tahu malu, “Sama gue,” sudut bibirnya terangkat naik, “Jadi kenapa lo ga main belakang juga?”

“What–”

Senyuman Renan semakin menjadi, “Sama gue.”

What the actual FUCK??

“Celvino!”

Tak ada yang menyahut.

“Vin, ya Tuhan!”

Tinggal sunyi.

“Di mana anak setan itu? Hey, Vin! Jangan kabur sendiri, bantu kakak pergi Dari sini!”

Yang berkata demikian adalah putra kedua keluarga Matthias yang elok nan tampan. Rambutnya panjang terlihat klimis disisir rapi ke belakang, beberapa anak rambutnya dibiarkan menghiasi di kedua sisi. Sementara itu, dasi kupu-kupu serta jasnya sudah hilang entah kemana.

Dirinya sekarang sedang dalam pelarian, menghindari pernikahan yang sama sekali tak diinginkan. Persetan dengan sopan santun, dan lelaki sinting yang ingin menikahinya! Sejurus lamanya ia memandang dengan bimbang ke segala penjuru ruangan, lalu berserulah ia dengan suara keras, cukup keras hingga bisa sampai pada yang tak bernyawa, dan tak bertelinga, “Celvino! Bantu kakak pergi dari sini— hmmp”

“Lapor, tuan muda Rayanda sudah berhasil ditemukan.” Seorang lelaki bertubuh kekar yang tak Raya kenal berkata pada alat walkie talkie seraya meringkus tubuhnya.

“Cepat bawa kemari, ikat saja jika dia masih memberontak.”

“Oke.”

Raya di tempatnya tentu saja memberontak dengan menendang-nendang kaki jenjang lelaki asing itu, “Lo siapa njing!? Lo bukan orang papa! Lepasin woy! tubuh gue- hmfh fmhp hmp!”

Celvino brengsek! Harusnya lo bantu kakak kabur!

“Celvino!”

Tak ada yang menyahut.

“Vin, ya Tuhan!”

Tinggal sunyi.

“Di mana anak setan itu? Hey, Vin! Jangan kabur sendiri, bantu kakak pergi Dari sini!”

Yang berkata demikian adalah putra kedua keluarga Matthias yang elok nan tampan. Rambutnya panjang terlihat klimis disisir rapi ke belakang, beberapa anak rambutnya dibiarkan menghiasi di kedua sisi. Sementara itu, dasi kupu-kupu serta jasnya sudah hilang entah kemana.

Dirinya sekarang sedang dalam pelarian, menghindari pernikahan yang sama sekali tak diinginkan. Persetan dengan sopan santun, dan lelaki sinting yang ingin menikahinya! Sejurus lamanya ia memandang dengan bimbang ke segala penjuru ruangan, lalu berserulah ia dengan suara keras, cukup keras hingga bisa sampai pada yang tak bernyawa, dan tak bertelinga, “Celvino! Bantu kakak pergi dari sini— hmmp”

“Lapor, tuan muda Rayanda sudah berhasil ditemukan.” Seorang lelaki bertubuh kekar yang tak Raya kenal berkata pada alat walkie talkie seraya meringkus tubuhnya.

“Cepat bawa kemari, ikat saja jika dia masih memberontak.”

“Oke.”

Raya di tempatnya tentu saja memberontak dengan menendang-nendang kaki jenjang lelaki asing itu, “Lo siapa njing!? Lo bukan orang papa! Lepasin woy! tubuh gue- hmfh fmhp hmp!”

Celvino brengsek! Harusnya lo bantu kakak kabur!

Aku tak pernah merasa salju di jilin begitu dingin seperti sekarang. Atau mungkin aku yang salah mengira demikian?

Ingatan di bulan November masih terasa baru dan menyakitkan. Tawa memenuhi ruangan saat aku menginap di kamarmu, menonton film berjam-jam, air cola yang tak sengaja ku tumpahkan ke tempat tidur dan juga ciuman di belakang panggung dengan jeritan teredam dari kerumunan yang menjadi latar belakang.

Aku begitu naif akan kebahagiaan yang menyelimuti; yang kau berikan, pikirku sosokmu akan selalu ku miliki dalam dekapku setiap waktu. Sampai akhirnya aku harus membuat keputusan. Aku telah membuat November menjadi bulan yang sangat sulit untukmu, untuk group kita, untuk semua orang, dan juga untuk diriku sendiri.

Sampai detik ini aku masih mengingatnya, ekspresi terluka yang kau tunjukan saat itu. Namun lamat kau tersenyum dan ucapkan bahwa kita akan baik-baik saja, bahwa kau akan baik-baik saja. Tapi Haechan, kau tak menyadari jika dirimu semakin menjauh dariku; aku merasakannya, hingga akhirnya aku sadar jika hubungan kita tak stabil dan goyah.

Aku pulang ke kampung halaman, dan aku tahu hubungan kita tak berhasil, tapi kau menjanjikanku sesuatu, 'mungkin suatu hari nanti'

Lalu kemudian di bulan November berikutnya, pesan dan telepon darimu semakin berkurang. Aku mencoba mengerti namun saat ku lihat sosok mu di layar televisi, aku tahu... Aku tahu jika sekarang kau sudah memiliki bahagiamu sendiri.

Aku melihat matamu berkilau dengan cara yang berbeda, pipimu yang bersemu saat mereka menggodamu. Membuatku terus bertanya-tanya; apa kalian sering menonton berdua di kamar seharian? Apa dia menyiapkan kopimu di pagi hari seperti yang sering ku lakukan? Apa dia membuatmu berdebar saat tersenyum? Apa kau mendekapnya saat tertidur seperti yang sering kau lakukan padaku?

Sementara aku di sini merasakan diriku tenggelam dalam penderitaan.

Sungguh menyedihkan, pikirku. Dia pasti tak tahu pacarnya menjanjikan ku sesuatu.

Dan setahun berikutnya telah berlalu, sudah tak ada lagi pesan ataupun panggilan telepon darimu. Dan aku terus menyibukkan diri untuk mengalihkan pikiranku, untuk tidak memikirkanmu; memikirkan senyumu, pelukan hangatmu... Aku, aku merindukanmu.

Pernah terbesit sebuah pertanyaan dalam benakku... Apa aku masih percaya pada janjimu, 'mungkin suatu hari nanti'. Mungkin saja aku masih percaya, tapi aku bersikeras untuk tidak mengakuinya, karena dengan mengakuinya mungkin kau akan berpikir bahwa aku masih mencintaimu.

Aku semakin menyibukkan diri untuk mengalihkan semua pemikiran-pemikiran tentangmu. Tetapi semakin aku berusaha semakin aku tak bisa, aku mulai membandingkan kehidupanmu sekarang dengan dahulu ketika aku masih menjadi milikmu.

Lalu munculah pertanyaan itu,

Apa yang akan terjadi jika aku tidak pernah pergi?

Apakah akhirnya kita akan meresmikan hubungan kita ke publik? Apa para penggemar akan senang mendengar tentang hubungan kita? Apa aku akan tetap menjadi satu-satunya sumber bahagiamu? Mungkinkah sekarang aku yang ada dalam dekapmu, menciumu, memelukmu...

Dengan keberanian yang entah datang dari mana, aku mengirimu sebuah pesan,

Mungkin suatu hari nanti?

Tapi Haechan, kau sudah melupakanku.

Dan aku masih di sini.

Aku masih terjebak di suatu tempat. Aku berada di kebahagiaan yang berbeda, kebahagiaan yang tidak ku sukai.

Aku berharap dia menyayangimu, aku berharap dia membuatkan sup kimchijigae untukmu, berada di sisimu selalu... Mencintaimu seperti diriku, bahkan lebih. Aku selalu mencintaimu dan akan selalu begitu.

Tapi kau sudah melupakanku,

Aku tahu...

Dalam sebuah postingan instagram, kau menulis,

Kau mengatakan,

Promises were made to be broken.

Tags: Haeren fantasy!au, local profanities, shower sex, no human hc, pwp, nsfw.

Not revised, and no beta reader so sorry if there are still lot of typos and grammatical errors.


“Ah, maaf tuan, saya sedang terburu-buru.”

Renjun mendengus kesal saat seseorang menabrak bahunya dengan kasar, terlebih lagi saat orang itu melengos pergi bersama temannya begitu saja. Ia menghela napas lelah seraya menekan tombol lift, matanya tak berkedip melihat angka penunjuk lantai saat lift itu membawanya lebih tinggi. Ia sudah tak sabar untuk segera melepaskan pakaian dan mandi di bawah guyuran air shower.

Renjun sangat lelah. Bahunya terasa pegal pun lehernya terasa tercekik meskipun dasinya sudah tak lagi rapi. Ia meringis saat kakinya terasa sakit; dia sangat tergoda untuk merosot ke depan dan mengendurkan otot-ototnya, bahkan mungkin menekan tangan ke punggung bawahnya untuk menghilangkan rasa sakit.

Pintu lift terbuka dan Renjun berjalan tergesa menuju kamar apartemennya tanpa hambatan. Renjun melempar tas kerjanya ke arah sofa ketika berjalan melewati ruang tamu. Sesampainya di kamar mandi, Renjun mulai melucuti pakaiannya satu persatu hingga ia telanjang sepenuhnya. Tepat sebelum memasuki shower box yang dilapisi crystal clear glass itu, Renjun menatap pantulan tubuhnya tanpa minat.

“What a view.”

Renjun menoleh, kaget dan bingung. Matanya melihat seisi ruangan, lalu sedetik kemudian menggelengkan kepalanya, merasa konyol. Ia pasti terlalu lelah hingga mendengar bisikan seperti barusan, jelas-jelas di sana tak ada siapapun, “Bangsat emang si botak hari ini bikin gue kerja rodi lagi,” Si botak yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah bosnya di kantor. “Capek banget anjing.”

Suhu air diatur agar tidak terlalu dingin, Renjun langsung membasahi tubuhnya di bawah guyuran air shower seraya bersenandung kecil. Cairan liquid beraroma lavender ia tuang ke tangannya, untuk kemudian digosok ke seluruh tubuh hingga berbusa. Tubuh Renjun seketika menjadi rileks, otot bahunya yang kaku terasa menjadi sedikit ringan. Entah kenapa seperti ada sihir yang membuatnya demikian, terlebih saat air kembali menyentuh kulitnya untuk membersihkn diri dari sisa sabun.

“Ah,” Desah Renjun tanpa sadar, kedua tangannya langsung terangkat untuk menutup mulut.

Anjing, apa-apaan barusan? Masa iya gue sange gegara kena air doang?

Kepalanya tertunduk demi dilihat penisnya yang kini mengacung tegak, “Emang sih, gue udah seminggu ga ngelakuin itu, tapi yang bener aja??”

Renjun akhirnya mau tak mau melakukan onani sendiri, diusapnya batang penis yang berkedut itu, ia urut dan kocok beberapa kali tetapi meski begitu ia tetap tak bisa mencapai putihnya. “Anjing, kok gamau keluar, arghh!”

Penisnya terasa sakit, berat dan berkedut hebat, tapi ia tetap tak kunjung orgasme. Renjun kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah depan, dan mengangkat sedikit bokongnya agar mempermudah jarinya untuk melakukan fingering. Desahan terus mengalun memenuhi ruangan, bahkan ia sudah menambah jarinya yang ketiga, tapi itu masih belum bisa membuatnya melakukan pelepasan. “Fuck, fuck, fuck.

Tubuhnya merosot, dan terduduk di bawah pancuran air yang anehnya kini bergerak meliuk di tubuh Renjun. Untaian air yang membentuk sulur panjang memberikan sensasi nikmat pada tubuhnya, “Aaaahh, hngghh ah!”

“Need help, cutie?”

Mata Renjun melebar dan dia tersentak kaget, ia langsung berdiri dan melihat sekeliling, tapi nihil. Tak ada siapa pun di sana selain dirinya.

What the fuck?

“Keluar ga lo?” Serunya entah pada siapa, “Lo siapa ANJING—AH!”

Renjun terkesiap, tubuhnya menegang saat air yang membentuk sulur itu terus merangsangnya, menyentuh setiap jengkal sensitifnya. Mengalir, bermain-main di dada serta paha dalamnya, meremas pusat gairah dan juga kewarasannya. “Ah! Ah-ahhh— hmmmp-”

Tubuh Renjun terdorong ke depan, sedangkan tangannya terikat kuat menyatu di atas kepala. Renjun sangat bingung, dan juga kelimpungan akan sensasi nikmat di setiap epidermisnya. Bagaimana bisa air merangsang dirinya begini hebat? Renjun tidak mengerti, yang ia tahu sekarang dirinya sudah menyerah pada gairah yang meluap-luap, hingga akhirnya cairan putih itu muncrat mengotori crystal clear glass yang menjadi tumpuan tangannya.

Dan Renjun langsung mengumpat saat melihat penisnya kembali menegak.

Someone is excited.

Napas Renjun tercekat, merasakan sentuhan di pusat gairahnya oleh sebuah tangan besar dan hangat sangat kontras dengan air yang masih mengucur, mengguyur tubuhnya.

Who- ahh, areh-hhh hnggg— fuck,” Tubuh Renjun terhentak ke depan cukup keras, pantatnya terasa panas ketika ditampar tiba-tiba. Tapi itu justru membuat libidonya semakin meningkat, penisnya merespon dengan berkedut-kedut. Renjun memejamkan mata dan menggeleng cepat mencoba mempertahankan kewarasannya,”Who the fuck are you?

Me?

Renjun seketika meremang, matanya membulat dan lidahnya kelu. Dia pernah mendengar suara ini, atau setidaknya Renjun berpikir begitu. Nyatanya ia tak mengingat siapapun yang memiliki suara deep yet smooth like this.

“Lee Haechan.”

Sosok itu ada di sana, di belakang tubuhnya, menyeringai ke arahnya melalui pantulan dinding kaca.

Aroma spicy woody tercium sangat kuat, hangat dan misterius, aroma spicy yang dicampur dengan tembakau, kayu manis— meresapi udara lembab di sekitar mereka dan membuat lutut Renjun lemas. Begitu mengintimidasi, hingga akhirnya Renjun bersimpuh di atas kedua lututnya dengan penis yang kembali memuncratkan putihnya.

Renjun terengah, untaian saliva keluar dari belahan bibirnya yang sedikit terbuka. Lubang senggamanya terasa sensitif dan kosong, minta dijamah. Meski sulit, Renjun masih berusaha pertahanan kewarasannya, “What are you?

I-” Bisiknya tepat di telingan Renjun, “I'm your desire,

My desire of what? Sex?

Yes,

Did you just—

Yes, I can read your mind, your body, your willing to be wrecked in my arms, to be filled with my huge cock.

Jantung Renjun rasanya berpicu cepat, seolah mengalirkan darah langsung ke wajah, begitu merah mewarnainya hingga ujung telinga. “I- I'm not,” sangkalnya, namun penisnya berkedut merespon ucapan Haechan. “Shit.

Haechan menyunggingkan seringaian sebelum akhirnya meneggakkan tubuh Renjun, “I will make you feel good, I promise.

Haechan meraih dagu Renjun untuk memagut bibirnya, tangan Haechan yang bebas mengusap-ngusap sisi pinggang Renjun, pagutannya semakin lama semakin kasar ketika Renjun memberi akses lidahnya masuk. Dijilat rakus, digigitnya hingga lecet, bahkan hingga berdarah. Tapi anehnya Renjun tak merasakan perih sama sekali, bahkan semakin banyak sentuhan kasar yang dilakukan Haechan semakin membuat Renjun kelimpungan akan uforia yang berlebihan.

“Hhh,” Napas Renjun menghembus kasar saat bibir Haechan berpindah, menyapu cuping telinganya; terasa hangat, geli dan nikmat secara bersamaan. Tubuh mungilnye bergidik geli saat jemari panjang Haechan bermain-main di pusarnya lalu naik ke atas untuk menjamah puting Renjun yang mulai mengeras. “No-hhng not there— hhh

Puting Renjun begitu sensitif, terlebih saat bibir Haechan berpindah melumat tonjolan pink itu. Dihisap serta digigit kuat hingga Renjun merintih hampir berteriak. Ia sungguh tak bisa mengendalikan dirinya saat merasakan gigi Haechan menancap, menembus permukaan epidermisnya dengan kuat. As if he's gonna eating him whole and raw.

Fuck!” Pipi Renjun beradu ke dinding kaca saat Haechan membalikkan tubuhnya secara tiba-tiba, penisnya diremas sedangkan analnya digempur tiga jari Haechan sekaligus.

Rintik air shower yang jatuh mengenai kulitnya kini tersulur membentuk benda padat dan ikut mengoyak Renjun pinkish hole. Terasa sangat aneh namun Renjun hanya mampu membuka mulutnya, mengeluarkan desahan dan rintihan.

Not yet,” Haechan mencengkram rambut Renjun dari belakang seraya mengeluarkan ketiga jemarinya, membuat Renjun mengerang resah, “Sshh— I'm gonna put something bigger.

Renjun seketika menahan napas, and his heart is racing like crazy saat Haechan membidikan kepala penisnya, meregangkan Renjun's pinkish hole, “AHH!” Kepalanya terlempar kebelakang, peluh mengalir membasahi pelipis serta tubuh, saat suhu di shower box menjadi begitu lembab dan hangat.

So tight, ah— yes, squeeze my cock good— so good.” Haechan menggeram rendah, bersahutan dengan desahan yang tak henti keluar dari mulut Renjun. Haechan menggerakan pinggulnya secara brutal, menusuk titik nikmat Renjun bak kesetanan, membuat tubuh Renjun terhentak-hentak cukup kuat ke dinding kaca, “So good, human—

Geraman Haechan semkin menjadi saat dinding anal Renjun meremas penisnya begitu ketat, matanya berkilat merah bercahaya terpantul dari kaca dinding, dan hanya dalam sepersekian detik Renjun bersumpah jika dirinya melihat ekor panjang serta sepasang sayap hitam lebar membentang, sebelum akhirnya ia berteriak merasakan gigi Haechan menancap di bahu kirinya.

“AAAHHHHH!!”

Desahan panjang terdengar begitu penis Renjun memuncratkan cairan sperma untuk kesekian kalinya. Tubuh mungilnya hampir merosot ke bawah jika Haechan tak menahannya untuk kemudian ia genjot dari belakang dengan kuat. Sebelah tangan Renjun tanpa sadar meraba perutnya, merasakan penis Haechan yang terhentak di dalam sana. Tapi begitu tiga tusukan terakhir, Haechan akhirnya menyemburkan cairan putih hangat itu di dalam perut Renjun yang dengan ajaibnya ikut kembali orgasme.

Again,” Renjun berujar lirih di ambang kesadarannya, “I want your cock- haah- again— please fuck me—

Tubuh Renjun ambruk begitu saja di tas lantai shower box yang basah dan dingin, tubuhnya dipenuhi gigitan serta bercak merah keunguan. Dari lubang senggamanya mengalir cairan putih kental yang membuat Haechan seketika mengumpat dalam hati.

“Goblok,” Sosok lain, tinggi semampai berjas hitam menatap Haechan penuh sangsi, “Otak lu di mana tolol, bukannya jalanin tugas malah ngewe sama manusia.”

“Bacot,” Sahut Haechan ketus, tak peduli jika partner “kerjanya” nya itu sudah memergoki perbuatan tak senonohnya pada Renjun. “Ini manusia isi otaknya kotor banget bikin gue sange.”

“Halah,” Sergah sosok itu seraya memutar mata jengah, kemudian berkata dengan nada mengejek, “Miif tiin siyi siding tirbiri-biri, bacot ujung-ujungnya malah dientot.”

“Bacot Jen,” Ucap Haechan agak kesal, kemudian dia bawa tubuh Renjun untuk dibopong ke kamarnya. “Lu juga malah nonton aja, demen kan lu liat adegan jorok kek tadi.”

Jeno mendengus tak terima dituduh begitu, “Mana ada anjing, gue mah kerja,” Yah, maksudnya ga terima soalnya cuman nonton pas akhir aja. Hehe. “Buruan beresin, abis itu cabut, kita dipanggil atasan buat lapor.” setelah mengatakan itu sosok Jeno langsung menghilang, menyisakan Haechan dan Renjun yang masih tak sadarkan diri di gendongannya.

Sleep tight, human.


Kalau rame lanjut part two 😘