Aku tak pernah merasa salju di jilin begitu dingin seperti sekarang. Atau mungkin aku yang salah mengira demikian?
Ingatan di bulan November masih terasa baru dan menyakitkan. Tawa memenuhi ruangan saat aku menginap di kamarmu, menonton film berjam-jam, air cola yang tak sengaja ku tumpahkan ke tempat tidur dan juga ciuman di belakang panggung dengan jeritan teredam dari kerumunan yang menjadi latar belakang.
Aku begitu naif akan kebahagiaan yang menyelimuti; yang kau berikan, pikirku sosokmu akan selalu ku miliki dalam dekapku setiap waktu. Sampai akhirnya aku harus membuat keputusan. Aku telah membuat November menjadi bulan yang sangat sulit untukmu, untuk group kita, untuk semua orang, dan juga untuk diriku sendiri.
Sampai detik ini aku masih mengingatnya, ekspresi terluka yang kau tunjukan saat itu. Namun lamat kau tersenyum dan ucapkan bahwa kita akan baik-baik saja, bahwa kau akan baik-baik saja. Tapi Haechan, kau tak menyadari jika dirimu semakin menjauh dariku; aku merasakannya, hingga akhirnya aku sadar jika hubungan kita tak stabil dan goyah.
Aku pulang ke kampung halaman, dan aku tahu hubungan kita tak berhasil, tapi kau menjanjikanku sesuatu, 'mungkin suatu hari nanti'
Lalu kemudian di bulan November berikutnya, pesan dan telepon darimu semakin berkurang. Aku mencoba mengerti namun saat ku lihat sosok mu di layar televisi, aku tahu... Aku tahu jika sekarang kau sudah memiliki bahagiamu sendiri.
Aku melihat matamu berkilau dengan cara yang berbeda, pipimu yang bersemu saat mereka menggodamu. Membuatku terus bertanya-tanya; apa kalian sering menonton berdua di kamar seharian? Apa dia menyiapkan kopimu di pagi hari seperti yang sering ku lakukan? Apa dia membuatmu berdebar saat tersenyum? Apa kau mendekapnya saat tertidur seperti yang sering kau lakukan padaku?
Sementara aku di sini merasakan diriku tenggelam dalam penderitaan.
Sungguh menyedihkan, pikirku. Dia pasti tak tahu pacarnya menjanjikan ku sesuatu.
Dan setahun berikutnya telah berlalu, sudah tak ada lagi pesan ataupun panggilan telepon darimu. Dan aku terus menyibukkan diri untuk mengalihkan pikiranku, untuk tidak memikirkanmu; memikirkan senyumu, pelukan hangatmu... Aku, aku merindukanmu.
Pernah terbesit sebuah pertanyaan dalam benakku... Apa aku masih percaya pada janjimu, 'mungkin suatu hari nanti'. Mungkin saja aku masih percaya, tapi aku bersikeras untuk tidak mengakuinya, karena dengan mengakuinya mungkin kau akan berpikir bahwa aku masih mencintaimu.
Aku semakin menyibukkan diri untuk mengalihkan semua pemikiran-pemikiran tentangmu. Tetapi semakin aku berusaha semakin aku tak bisa, aku mulai membandingkan kehidupanmu sekarang dengan dahulu ketika aku masih menjadi milikmu.
Lalu munculah pertanyaan itu,
Apa yang akan terjadi jika aku tidak pernah pergi?
Apakah akhirnya kita akan meresmikan hubungan kita ke publik? Apa para penggemar akan senang mendengar tentang hubungan kita? Apa aku akan tetap menjadi satu-satunya sumber bahagiamu? Mungkinkah sekarang aku yang ada dalam dekapmu, menciumu, memelukmu...
Dengan keberanian yang entah datang dari mana, aku mengirimu sebuah pesan,
Mungkin suatu hari nanti?
Tapi Haechan, kau sudah melupakanku.
Dan aku masih di sini.
Aku masih terjebak di suatu tempat. Aku berada di kebahagiaan yang berbeda, kebahagiaan yang tidak ku sukai.
Aku berharap dia menyayangimu, aku berharap dia membuatkan sup kimchijigae untukmu, berada di sisimu selalu... Mencintaimu seperti diriku, bahkan lebih. Aku selalu mencintaimu dan akan selalu begitu.
Tapi kau sudah melupakanku,
Aku tahu...
Dalam sebuah postingan instagram, kau menulis,
Kau mengatakan,
Promises were made to be broken.