HaeRen; Romance, Tragedy, Angst. tw// death
.
Renjun terbangun di tempat tidurnya yang terasa dingin, sendiri.
Selimut yang membalut tubuhnya tidak cukup hangat, tidak juga cahaya mentari yang menelusuk masuk melalui jendela. Renjun menegakkan tubuhnya dengan gugup, menggusak surai hitam miliknya secara perlahan.
Tentu saja, itu tak akan terasa sama dengan sentuhan tangan Haechan yang selalu membelai lembut rambutnya dengan penuh kasih sayang.
Hal pertama yang ia lakukan ketika meneggakkan tubuhnya ialah pergi menuju dapur, di sana ia menyiapkan segelas teh hangat untuk dirinya sendiri. Di antara cangkir moomin miliknya terlihat cangkir bergambar matahari milik Haechan yang terlihat sedikit berdebu, Renjun dengan cekatan mencuci cangkir tersebut.
Perjalanan bisnis Haechan membutuhkan waktu seminggu lamanya, dan Renjun sudah menghitung hari, menghitung hingga sang suami pulang ke rumah. Sungguh, ia telah melalui masa menunggu yang tidak menyenangkan, menghitung, menghitung dan menghitung-
Renjun mendongak. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali dan mengerutkan kening seolah ada yang terlupa. Sudah menjadi kebiasaan untuknya ketika mereka pindah bersama— Haechan akan datang memeluk tubuhnya dari belakang ketika Renjun sibuk menyiapkan teh di pagi hari, mengecup tengkuk Renjun dengan lembut dan menuntut hingga membuat Renjun mengomel karena hampir saja menjatuhkan cangkir di tangannya.
Haechan tak parnah jera, karena ia tahu jika Renjun diam-diam menikmati afeksi yang ia berikan. Meskipun demikian, Renjun menunjukkan respon dengan cara berbeda.
Renjun melihat ke arah kalender dan tersenyum, siap merobek kalender hari kemarin. Tanggal 1 Juni. Dia pasti sedikit gila hari ini, dia seperti memiliki delusi jika seharusnya Haechan sudah pulang kemarin—
Jam digital mencuri atensi dan membuyarkan lamunannya, Renjun mencoba fokus melihat angka yang terpampang di sana. Dia mengerutkan kening seraya mengambil benda itu, dan menatapnya bingung.
Kerutan di dahinya semakin dalam ketika mendapati kenyataan bahwa tanggal yang tertera di jam tersebut menunjukkan sudah lewat tanggal kepulangan Haechan. 3/6.
Renjun menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sepenuhnya bingung. Kemudian kembali meletakkan benda itu dan melangkah mundur. Ia menggigit bibir bawahnya. Apakah penerbangan Haechan ditunda? Ataukah aku salah menyetel waktunya?
Renjun menghempaskan tubuhnya ke sofa, mengingat-ngingat kejadian kemarin. Tak ada. Ia tak ingat apapun, tidak sama sekali. Apa saja yang sudah ia lakukan?
'Aku bakal cepat pulang, aku janji.'
Jemari Renjun bertaut gelisah, dan retinanya mentap jam dinding yang berdetak pelan; satu-satunya sumber suara yang terdengar di rumahnya yang sepi.
Tidak, tidak. Aku yakin Haechan akan cepat pulang. Renjun bergumam meyakinkan dirinya sendiri seraya merobek kalender hari kemarin, dan menunjukkan tanggal kepulangan Haechan. 2 Juni. Rumahnya terasa sunyi, hingga langkahnya yang pelan masih terdengar menggema di telinga.
Ini hari terakhir, aku bisa menunggu.
Tujuh hari yang Renjun lalui untuk menunggu sang kekasih, lelaki yang menggenggam tangannya dan mendekapnya ke dalam pelukan hangat, serta bisikan kata-kata romantis, lelaki yang mencium Renjun dengan penuh kasih dan memberikan Renjun kebahagian yang tak pernah ia miliki, lelaki yang mengusap lembut air mata Renjun dikala ia bersedih dan memberikan perasaan aman sepenuhnya.
Tentu, tentu saja aku bisa menunggu, karena itu adalah Haechan.
Ia beralih ke kamar mandi untuk memulai rutinitasnya setiap hari, setelahnya ia menghidupkan mesin penyedot debu untuk membersihkan debu di lantai dan di dipenjuru rumah. Melakukan perkerjaan rumah seperti kegiatan yang berulang, melukis, seperti lingkaran yang ia ulang setiap harinya. Rasa antusias mengalir di tubuhnya seraya tersenyum pada dirinya sendiri tanpa disadari.
Ketika malam tiba, kebahagian Renjun menghilang digantikan oleh perasaan bingung dan gelisah. Menatap layar ponsel dan menunjukkan percakapan terakhir mereka, namun hal tersebut tak mengubah perasaan cemas yang tidak mendasar seolah masih tersemat di kerongkongannya. Pikirannya masih terpaku pada rasa khawatir dan gelisah tapi-
Aku bisa menunggu.
Renjun akhirnya memutuskan untuk tidur, membalut tubuhnya dengan selimut, memejamkan matanya seolah alam mimpi bisa digapai begitu saja.
.
To: Hubby 👊 Tinggal lima jam lagi 'kan?
Renjun mengetik pesan di ponselnya,
'Tidak apa-apa aku bisa menunggu.'
Pemikiran akan segera bertemu sang suami membuat jantungnya berdebar kencang.
To: Hubby 👊 I love you
Renjun tersenyum setelah selesai mengirimkan pesan tersebut. Mereka sudah melakukan video call sebelumnya, sudah mengatakan hal serupa pula, namun Renjun seakan tak merasa cukup jika tak mengirimkan pesan pada sang suami.
From: Hubby 👊 I love you more, baby
Ucapanya begitu membaca balasan dari Haechan, dan senyuman kembali merekah di wajahnya. Percapakan berhenti sampai di situ, dan Renjun tak bisa menyembunyikan perasaannya yang membucah. Bahagia.
.
Renjun kembali terbangun di tempat tidurnya mendapati hanya ada dirinya sendiri.
Kali ini ia langsung berdiri, tak menunggu benar-benar terjaga dan tak mengusak rambutnya seperti sebelumnya. Jemarinya meraba sisi ranjang yang tak tersentuh; tetap terlihat rapi, dan bayangan Haechan tidur di sampingnya membuat hatinya merasa perih. Mimpinya membuat perasaannya berkecamuk, sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan, jadi dia akhirnya mencoba untuk mengabaikan perasaan tersebut.
Ada sesuatu yang menyeruak di dadanya, sesuatu yang terasa mencekik dirinya ketika ia keluar kamar. Sunyi. Rumah itu terlalu sunyi, dan saat Renjun hendak merobek kalender yang tergantung di dinding, saat itu lah ia menyadari tanggal yang sama di hari kemarin. 2 Juni.
Apakah semua yang kulakukan kemarin itu hanya mimpi?
Renjun mengerutkan dahi dan mengepalkan kedua tangannya. Dia mengingat semuanya dengan sangat jelas. Dia telah merobek kalender untuk tanggal kemarin.
Renjun berjalan menuju dapur ingin membuat teh untuk dirinya sendiri. Cairan hangat itu terasa pahit melewati tenggorokannya, dan dia mencoba untuk mengambil cangkir milik Haechan. Cangkir tersebut berdebu, jadi Renjun mengelapnya dengan serbet yang tergantung malas dekat meja.
Haechan pulang hari ini.
Renjun tersenyum dan mencoba menenangkan dirinya, dan meyakinkan dirinya bahwa dia mengalami mimpi buruk—sangat buruk lebih tepatnya, karena dia bermimpi jika Haechan tidak pulang. Bagaimanapun, ketika dia melihat jam digital, ia sadar jika Haechan sudah telat dua hari. 4/6
Meski begitu Renjun tidak terlalu memikirkannya. Dia memulai kebiasaannya membersihkan rumah, membersihkan buku-buku, menyiram tanaman, melukis dan beberapa kegiatan lain yang selalu ia lakukan setiap hari—atau setidaknya tak sadar ia lakukan beberap hari selama tujuh hari penantian kepulangan Haechan karena ia tak begitu banyak memiliki teman.
Ponselnya juga tak begitu terlihat menarik, tak ada notifikasi apapun yang masuk, Haechan mengirim pesan terakhirnya beberapa jam lalu dan ia bahkan sudah hapal di luar kepala tentang percakapan mereka. Betul, menunggu memang sangat menyebalkan. Tapi jika itu Haechan maka ia akan menunggunya.
Renjun melihat ke luar jendela saat sedang membersihkan meja. Polusi udara di Soul pasti semakin menjadi. Ia berfikir pada dirinya sendiri seraya mengelap debu yang tebal di bingkai jendela.
Malam datang dan pintu masih belum terbuka. Ketika Renjun berjalan menuju tempat tidurnya, Haechan masih belum pulang.
.
Ingatannya kembali mengelana mengenang perasaan bahagia dan Renjun merasakan banyak emosi yang masuk ke seluruh tubuhnya. Cara bibirnya membentuk senyuman yang menyilaukan adalah bukti yang cukup tentang betapa berartinya Haechan baginya. Ada ingatan yang jenaka saat dia berjalan-jalan di sekitar rumah, melakukan tugas sehari-harinya dan tersenyum konyol.
Acapkali dia melihat ke arah jam dan menghitung mundur, akan butuh waktu untuk Haechan muncul di balik pintu. Renjun meraba kedua pipinya tanpa sadar dan ia membayangkan tangan itu adalah tangan kokoh milik Haechan.
Renjun tersenyum lebar dan itu menyakitkan.
.
Renjun bangun sendirian di ranjangnya yang besar.
Dia tidak mengatakan apapun, tidak merasa apapun, atau memikirkan apapun saat beranjak dari kasur; mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia berjalan mengelilingi ruangan hingga berakhir di dapur membuat teh dan menghabiskannya dalam sekali teguk.
Ini mungkin sedikit terlihat menyedihkan, ketika dia menekan tubuhnya ke meja dapur dan merasakan sensasi familiar sentuhan tangan melingkari pinggulnya. Dia membayangkan Haechan menghimpitnya ke konter, melumat bibirnya dengan lembut, tangan meraba di bawah bajunya dan Renjun akan bergetar merasakan sentuhan lelakinya.
Dari ujung matanya, dia mendapati cangkir sang kekasih berada di antara cangkir lain miliknya. Jemari yang pucat meraih telinga cangkir dan dia meniup debu di atas cangkir tersebut. Ia mengelapnya dengan serbet yang tergeletak di atas meja lalu melempar serbet tersebut ke arah tempat cuci piring. Bukankah dia sudah membersihkannya kemarin? Dan bukankah Haechan seharusnya pulang kemarin?
Renjun sedikit linglung namun mencoba menebak bahwa mungkin saja debu juga sangat merindukan Haechan. Ia merobek kalender dan tak percaya jika Haechan akan pulang hari ini meskipun jam digital menunjukan tanggal 5/6. Sangat tidak masuk akal, tapi dia memutuskan untuk percaya kalender manual karena kalender tersebut memberinya apa yang ingin ia yakini.
Seperti biasa Renjun akan membersihkan rumah dan kembali melukis. Secara tak terduga malam hari datang lebih cepat dari biasanya, membuat Renjun semakin merindukan Haechan.
Dia akan pulang.
Pikir Renjun seraya merebahkan dirinya di atas kasur. Sesuatu di kepalanya berteriak pada dirinya sendiri, tapi dia tak dapat menangkap tanda peringatan tersebut. Dia mengusap air matanya dengan kasar dan menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut.
.
Renjun bersenandung riang mengikuti melodi yang ada di kepalanya ketika menyelesaikan lukisannya. Lagu yang sering ia dan Haechan nyanyikan bersama ketika mereka masih duduk di sekolah menengah. Mereka selalu pergi ke tempat karoke setelah pulang sekolah, menyanyikan lagu dari group boyband kesukaan mereka.
.
Renjun membuka kedua matanya, meraba sebelah tempat tidur dan tak mendapati apapun. Tak ada siapapun.
Memaksakan diri bangun dari tempat tidur, Renjun mentap kosong tatkala kakinya berjalan mendekati dapur. Menyiapkan segelas teh seperti biasa dan bahkan membersihkan cangkir Haechan yang kini debunya lebih tebal dari hari kemarin. Renjun mulai merasa jengkel.
Dia meniup cangkir itu dan terbatuk beberapa kali, sebelum akhirnya kembali meletakan cangkir tersebut. Ia penasaran jika mungkin saja debu-debu itu membentuk aliansi dan bersekongkol untuk menjahilinya, sedetik kemudian dia tertawa pada pemikirannya tersebut seraya membersihkan rak piring yang juga ternyata ikut berdebu. Renjun menyalahkan banyak kendaraan yang menyebabkan polusi udara yang buruk di Seoul. Dia kemudian mendekat ke arah kalender yang tergantung di dinding, lelaki itu mengerutkan keningnya dan mulai merobek kalender tersebut dengan pelan. 2 Juni.
Apa semua ini hanya mimpi?
Renjun merogoh ponselnya dari dalam saku dan melihat percakapan terakhirnya dengan Haechan. Percakapan yang sama yang ia hapal di luar kepala.
Dia tak melihat ke arah jam digital yang tergeletak di atas televisi. Renjun menyibukan diri dengan hal-hal disekitarnya, lalu tangannya meraih foto Haechan di dekat rak televisi dan meraba pelan wajah sang kekasih yang tengah tersenyum bahagia.
Ingatan di mana Haechan memakan bekal siang miliknya ketika mereka pertama kali bertemu tiba-tiba terlintas di kepalanya, Renjun tak pernah menyadari jika pertemuan itu akan membawa takdir mereka bersama.
Ketika Renjun menyelesaikan semua kegiatannya, dia merebahkan diri di atas kasur dan tertidur. Dan pintu depan rumahnya masih tetap tertutup rapat.
.
Dia ingat bagaimana Haechan pernah hampir mengencani semua wanita di kelasnya, namun lelaki itu akhirnya berakhir bersama Renjun, lelaki asal China yang akan tertawa setiap kali Haechan membuat kelucon atau berteriak tak jelas di depan cermin seraya berlaga seperti superstar, dan berakhir tersedak ludahnya sendiri.
Cinta tak memiliki batasan. Renjun berfikir pada dirinya sendiri seraya terkekeh. Haechan sering memberinya kata-kata manis dengan memanggil 'Renjunie', 'gwiyomi', 'baby' dan bahkan 'my beautiful husband'. Ia tak tahu mengapa, tapi Haechan meyakinkannya jika dia tergila-gila dengan apapun yang Renjun lakukan.
.
Renjun terbangun, namun kali ini ia tak langsung membuka mata ketika ia tak merasakan kehangatan di sampingnya. Selimut ditarik hingga menutup sebagian wajah, dan kini cairan bening lolos di kedua pipinya.
Dengan malas ia bangkit dan berjalan menuju dapur untuk membuat teh. Renjun mengangkat cangkir Haechan dan menatapnya jengkel. Debu itu masih menempel, padahal ia sudah berkali-kali membersihkannya. Namun pada akhirnya ia tetap membersihkan cangkir tersebut dengan hati-hati. Setelahnya ia mendekat ke arah kalender dan dengan ragu merobek kertas itu. 2 Juni. Renjun memutar tubuhnya, menatap jam digital. 6/6. Dia memutuskan untuk mengabaikan perbedaan kedua penunjuk waktu tersebut.
Sesuatu menyeruak di kerongkongannya, menyesakkan dan menyakitkan namun ia langsung menelannya. Semua ini sudah seperti mimpi buruk yang tidak berkesudahan untuknya; bermimpi jika Haechan tidak pernah pulang dan terbangun di hari dimana seharusnya Haechan kembali—penyiksaan yang berulang yang memaksanya untuk melakukan semua itu.
Dengan pemikiran mengerikan itu, Renjun mencoba kembali melanjutkan aktifitasnya dan di tengah-tengah kegiatan melukisnya, Renjun kembali menyadari tentang keanehan cangkir milik Haechan dan menghindari kenyataan yang muncul di benaknya. Selama tujuh hari lamanya, cangkir itu sekarang masih berdebu. Ia hampir beranjak untuk kembali memastikan cangkir tersebut, namun sesuatu seolah menghatam ingatannya ketika ia hendak meletakan kuas di tangannya. Lama ia memandangi lukisan di hadapannya; bunga matahari yang bersinar tertimpa cahaya sang surya...
Bukankah aku sudah menyelesaikan lukisan itu kemarin? Kemarin dan kemarinnya lagi?
Pada saat itu, Renjun melihat ke arah pintu, dan tak henti berdoa; Haechan akan masuk dan memeluknya. Ketika Renjun mulai gemetaran, kenyataan yang menyakitkan membuatnya sadar namun ia tetap memilih abai.
Renjun merindukan sentuhan Haechan; ia sangat merundukan kehangatan Haechan.
Pintu itu tak terbuka sama sekali seharian penuh.
.
Renjun menatap lukisan di hadapannya dengan senyuman lebar. Lukisan tersebut merupakan salah satu hadiah yang ia persiapkan sebagai hadiah ulang tahun Haechan. Saat sedang membayangkan bagaimana reaksi sang suami saat melihat lukisan tersebut, tiba-tiba ponselnya berdering menunjukan panggilan dari nomor tak dikenal.
“Halo?” Suara Renjun masih diselimuti rasa bahagia.
Dia mendengar seseorang batuk tergesa-gesa di sebrang telepon.
“Uh, Halo, bisakah saya bicara dengan kerabat terdekat tuan Lee Haechan?”
.
Renjun terbangun tengah malam dengan air mata yang membanjiri kedua pipi. Cairan bening tersebut terus mengalir tak mau berhenti ketika ia menutup wajahnya dengan selimut. Sisi tempat tidurnya masih terasa dingin dan ia meringkuk di sana dengan keadaan menggigil. Cairan bening dan hangat berlinang dari kedua mata; satu-satunya kehangatan yang ia dapat. Dia mencengkram kedua sisi lengannya lebih kuat dan membayangkan lengan kekar Haechan yang sedang memeluknya. Semua itu hanya membuatnya semakin sedih.
Tak ada kata yang cukup menjabarkan betapa Renjun membutuhkan Haechan di sampingnya sekarang. Kesunyian terasa mencengkam dan Renjun meraung, lalu tersedak menyedihkan saat ia menarik ujung selimutnya; berdoa agar Haechan datang dan mengusir iblis yang membuatnya ketakutan.
Haechan tak pernah pulang, dan Renjun tertidur dengan air mata mengalir di kedua pipinya.
.
Renjun terbangun tanpa mengingat apa yang membuatnya menangis. Sungguh. Ia membuka kedua matanya dengan gugup, menatap langit-langit kamar.
Ya Tuhan, biarkan hari ini jadi tanggal 2 Juni yang sesungguhnya.
Dia tak memahami mimpinya dan Renjun beranjak dari kasurnya untuk membuat secangkir teh. Dia menatap debu yang terdapat di cangkir Haechan lalu mengusap cangkir itu dengan kasar. Renjun mendekat ke arah kalender dan merobeknya tanpa dilihat. Dia mulai mengerjakan kegiatannya, kesehariannya yang berulang selagi menunggu kepulangan Haechan.
Renjun sadar tanamannya mati, sungguh aneh. Dia tak yakin kenapa, padahal ia menyiramnya setiap hari. Tempat makan Lily- kucing mereka yang kini ada di rumah sang ibu, masih terlihat kotor, padahal ia membersihkannya setiap hari.
Renjun selesai dengan semua kegiatannya seperti hari kemarin, dan ia langsung tertidur di atas kasur. Haechan masih belum pulang, dan entah bagaimana ia meyakini jika esok harinya akan sama terulang.
.
“Tuan-” Renjun mendengar suara lelaki di sebrang telepon. Dirinya tiba-tiba resah meskipun ia tak tahu kenapa. Ada perasaan takut menyeruak di seluru tubuhnya.
“Ya?”
Renjun mendengar banyak bisikan, teriakan dan langkah yang tergesa.
“Tuan Lee telah-”
.
Renjun terbangun dengan keringat dingin dan air mata yang tak berhenti mengalir, sendirian. Ia mengusap wajahnya dan berjalan menuju dapur untuk membuat teh, berdoa agar itu bisa menenangkannya. Hatinya merasa tak siap dan ia tak tahu kenapa. Ia hanya berpikir tentang Haechan seraya merobek kalender dengan harapan hal tersebut akan membuatnya tenang. Ketika ia merobek tanggal itu dengan perasaan ragu; menampakkan angka yang tertera di sana dan membuat hatinya mencelos.
Haechan pulang hari ini. Aku bisa menunggu. Ya, aku bisa menunggu.
Renjun melakukan kegiatan kesehariannya seperti yang sudah-sudah— hingga ia mendengar keributan menggema di luar rumah.
Haechan...
Otaknya tak bisa bepikir dengan benar saat tangannya memutar gagang pintu, berharap bisa melihat senyuman Haechan yang menghangatkan sedang menunggu di balik pintu. Namun, sebelum ia memutar gagang pintu tersebut, ia sadar jika suara yang terdengar bukanlah suara Haechan.
Suara berat berbisik sesuatu tak terlalu jelas, dan Renjun mengintip keluar mendapati dua orang pria sedang berbincang.
“Apa kau mendengarnya, Chenle-ya?”
“Dengar apa?”
“Gagang pintunya tadi menimbulkan suara. Aku bersumpah, tadi ada bunyi klik atau semacamnya.”
“Diamlah, Jisung. Jangan menakutiku. Sekarang ini seharusnya kau yang bertindak berani. Ck.” Jisung, si lelaki bertubuh jangkung itu berdiri di belakang lelaki satunya. Hening beberapa saat. Renjun mengerjapkan kedua matanya dan membalikkan tubuh lalu menyandarkan punggungnya di pintu.
Siapa mereka? Renjun ingin membuka pintu dan bertanya, namun ia urungkan dan memilih terdiam seraya berdoa agar Haechan cepat pulang dan melindunginya, melindungi rumah mereka, melindungi apa yang telah mereka bangun sejak pertama kali mereka menggenggam tangan dan berbagi kehangatan dan jauh dari segala hal yang berbahaya.
Gagang pintu bergerak dan Renjun terlonjak kaget di tempatnya. Kedua tanganya bertaut seraya merapalkan doa tak lupa meminta agar Haechan cepat datang. Dia mendengar bisikan yang tak jelas sehingga ia mendekatkan telinganya ke arah pintu.
“Sayang, sebaikanya kita pergi saja. Aku tahu kita harus melakukan tugas tapi suasananya sedikit agak.. Kau tahu.. ” suara berat itu kembali berkata namun tak ada jawaban untuk beberapa menit.
“Baiklah, jujur saja aku juga tak begitu suka suasananya. Mari kita pergi dan kembali lain waktu.” adalah kalimat terakhir yang didengarnya sebelum terdengar suara sepatu yang melangkah menjauh.
Kakinya terasa lemas dan ia mencoba meraih apapun untuk menopang tubuhnya agar tetap berdiri. Sekarang ia mulai terisak dan menyembunyikan wajah dibalik telapak tangan. Haechan... Napasnya tersenggal. Pada akhirnya ia menyeret tubuhnya untuk kembali ke kamar, menggumamkan nama Haechan seolah itu kalimat terakhir sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
.
Kakinya terasa seperti jelly ketika tubuhnya merosot ke lantai yang dingin menimbulkan suara cukup keras.
“Tidak mungkin,” Renjun menghembuskan napasnya gemetar, dan senyuman di wajahnya hilang digantikan dengan air mata yang membasahi pipi.
“Tidak, tidak, tidak-”
.
Renjun beranjak dari kasurnya dengan mata sembab, napas tersengal, dan langkah terhuyung. Ia tak bereaksi pada mimpi buruknya, dan hanya menatap kosong pada cangkir yang lebih berdebu daripada sebelumnya.
Renjun mengelapnya dengan serbet, tak mengindahkannya karena ia yakin jika cankir itu akan tetap berdebu lagi esok hari—jika hari esok memang benar datang. Dia menuang teh dan baru tersadar beberapa menit bahwa cangkir miliknya kini sedikit berdebu juga. Namun, dia tetap meminum cairan hangat itu dan merobek kalender yang nampaknya berbohong padanya. Ia tak mengerti apa yang terjadi. Kenapa ia terus mengalami mimpi buruk tentang Haechan yang tak pernah pulang di hari seharusnya ia kembali?
Ia membersihkan rumah, jendela, tempat makan Lily, memeriksa ponselnya sebelum menyiram tanaman, dan kembali melukis. Seolah itu sesuatu yang harus ia lakukan—Renjun tak begitu mengerti apa yang salah. Jadi dia tetap mengikuti kesehariannya seperti yang sudah-sudah.
Dia akan kembali. Aku tahu itu.
Renjun langsung terlelap begitu ia membaringkan tubuhnya di atas kasur.
.
Renjun mengetik banyak pesan pada Haechan meskipun deratan pesan itu tak terkirim dan berakhir centang satu. Tanganya bergetar hebat, air matanya tak kuasa lagi dibendung; cemas, takut dan khawatir menjadi satu.
Ia hampir saja tersandung tatkala kakinya berjalan menuruni tangga, tergesa, dengan mata yang masih terpaku pada layar ponsel berharap Haechan akan membalas pesan darinya.
“Tidak, Haechan,” Renjun terisak, sebelah tangannya yang bebas menjambak rambutnya frustrasi. “Kumohon jangan begini.”
Napas memburu dan ia panik luar biasa, ia mencoba menelepon nomor Haechan tapi tentu saja sia-sia. “Tidak mungkin, Haechan, ku mohon,” Renjun terus mencoba menelepon nomor yang sama, otaknya tak bisa berpikir karena terlalu dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran yang mengerikan.
“Ku mohon!”
.
Haechan... pikir Renjun ketika ia terbangun di pagi hari, matanya mengerjap beberapa kali, tubuh langsung terlonjak dan meraba sisi ranjang yang masih tetap terasa dingin. Jantungnya berdebar kencang, dan napas memburu. Ia tak merasakan dada bidang Haechan yang hangat, tak ada senyum jenaka dan tangan besar Haechan yang mengusak rambutnya dengan penuh kasih.
Renjun terdiam di atas kasur beberapa menit lamanya, meringkuk di atas bantal Haechan dan mencoba menghirup aroma sang kekasih di sana. Dia mencoa mengingat bagaiamana rasanya berada dipelukan Haechan yang menenangkan.
Renjun tak tahu apa yang harus dilakukan, dipikirkan atau dikatakan, jadi ia beranjak dari kasur dan berjalan menuju dapur. Menyiapkan teh untuk dirinya sendiri, mencuci cangkir dan dengan ragu menatap kalender yang tergantung di dinding.
Keningnya berkerut.
Sudah berapa kali aku mengalami ini?
Renjun melihat ke arah cangkir Haechan. Lapisan debu yang menempel sangat tebal dan Renjun mengelapnya dengan hati-hati. Setelah merobek kalender matanya melihat jam digital yang seolah menatap balik kearahnya. 7/6.
Tangan Renjun mengepal kuat. Dia membayangkan tangan Haechan di atas pahanya, suara tawanya yang menyenangkan terdengar di telinga Renjun dan bibir mereka mengecap satu sama lain. Ia mengingat ketika mereka bercinta, dan Haechan merangkulnya ke dalam pelukan hangat hingga tertidur.
Aku bisa menunggu.
Renjun memulai harinya dengan jadwal yang sudah ditentukan. Kegiatan yang berulang seperti kaset yang diputar—Renjun tak melewatkan apapun. Tak juga berhenti menunggu.
Perabot rumah jadi semakin kotor. Ia yakin sudah membersihkannya kemarin, tapi kenapa semunya begitu kotor hari ini?
Ia memulai kegitananya dan melirik ke arah pintu. Sesuatu di dalam hatinya terasa begitu pilu namun ia tetap melanjutkan, meskipun ia yakin ada sesuatu yang salah.
Segalanya semakin menjadi nyata, dan waktu terasa berlalu. Kulitnya terasa seperti menyelinap melalui kain pakaiannya. Satu-satunya hal yang terasa nyata adalah ingatannya tentang Haechan, tumbuh lebih kuat dengan keraguan yang terjalin dalam hembusan napasnya.
Tanaman yang dia coba pelihara dengan baik hampir layu. Renjun tidak tahu bagaimana mengembalikan mereka ke keadaan yang dulunya hijau dan sehat.
Sepanjang hari matanya ragu-ragu menatap ke arah pintu. Harapan tercabik-cabik oleh ketegangan yang mengalir di nadinya saat dia melihat sekilas ke jam digital berulang kali. Dia tidak mepedulikan kalender kertas yang berkibar tertiup angin.
Renjun berjalan ke tempat tidur dengan enggan. Dia benci tidur sendirian, tanpa Haechan dalam sentuhannya. Perasaan kekosongan yang mendalam meresapi hatinya saat dia sesekali mengganti posisi tidur. Cahaya bulan menyinari tempat tidurnya, menerangi sisi Haechan yang seharusnya ditempati dengan benar. Entah kenapa, dia merasa bulan mengasihaninya, menempati tempat itu untuk menemaninya.
Aku bisa menunggu karena itu adalah Haechan.
.
To: Hubby 👊 Tinggal lima jam lagi kan?
Renjun mengetikan pesan di ponselnya,
Tidak apa-apa aku bisa menunggu.
Pemikiran akan segera bertemu sang suami membuat jantungnya berdebar kencang.
From: Hubby 👊 Aku bakal cepet pulang kok yang, aku janji.
Begitu isi balasan Hecahan yang membuat senyuman Renjun semakin mengembang. Dia sudah menunggu selama tujuh hari, dia bisa menunggu lima jam lagi—dia bisa menunggu Haechan selamanya.
To: Hubby 👊 I love you.
Renjun tersenyum setelah selesai mengirimkan pesan tersebut. Mereka sudah melakukan video call sebelumnya, sudah mengatakan hal serupa pula, namun Renjun seakan tak merasa cukup jika tak mengirimkan pesan pada sang suami.
From: Hubby 👊 I love you more, baby
Ucapanya begitu membaca balasan dari Haechan, dan senyuman kembali merekah di wajahnya. Percapakan berhenti sampai di situ, dan Renjun tak bisa menyembunyikan perasaannya yang membucah. Bahagia.
.
Kadang-kadang, Renjun melihat ke arah jam dan diam-diam menghitung menit yang tersisa untuk Haechan sampai di depan pintu mereka. Renjun membayangkan kulit Haechan menempel di pipinya, dan menggigit bibir bawahnya untuk mencegah mulutnya menutup lagi.
Pria yang bersemangat itu sedikit memalukan karena dia berjingkrak-jingkrak di sekitar rumah seperti seorang gadis yang akan pergi ke kencan pertamanya, tapi itu tidak terlalu penting baginya karena Haechan akhirnya kembali—kepadanya.
Sebuah lagu cinta yang tak asing bergema. Dia ingat hari di mana Haechan mengusap rambutnya yang basah di tengah hujan, menciumnya dengan lembut dan mengatakan kepadanya bahwa dia tidak akan pernah membiarkan Renjun pergi. Bahwa mereka akan berhasil meskipun ada penghinaan yang ditunjukkan pada mereka sejak mereka mengumumkan hubungan keduanya. Renjun tersenyum lembut mengingatnya, mendesah.
Renjun melakukan pekerjaan rumah selama beberapa jam, melakukan setiap tugas dengan cermat untuk memastikan Haechan kembali ke rumah yang bersih dan rapi. Ketika dia menabrak kalender dinding sambil menari, dia mengingatkan dirinya sendiri untuk merobek tanggal kemarin.
Renjun dengan hati-hati melangkah melewati ruang tamu dan menjawab telepon.
“Halo?” Renjun menimpali, masih dalam lamunannya. Suara batuk yang tergesa-gesa terdengar di sebrang telepon, sebelum sebuah suara bergema dari sebrang telepon.
“Halo, bolehkah saya berbicara dengan kerabat terdekat Tuan Lee Haechan?”
“Ya, itu saya,” jawab Renjun, merasakan semacam kecemasan mengalir melalui suara orang lain.
“Tuan,” suara pria itu bergetar dan jeda hening mengikuti, dan Renjun mengerutkan alisnya.
“Ya?”
Renjun mendengar bisikan panik, teriakan keras dan langkah kaki yang tergesa-gesa.
“Saya adalah staf perwakilan Bandara Incheon, dan mengenai penerbangan 004, penumpang atas nama Tuan Lee Haechan diduga terlibat dalam-” Jantung Renjun berdetak kencang dan dia mendengar lebih banyak teriakan sedih saat pria di sebrang telepon memberi jeda.
“Kecelakaan pesawat,” pria itu menelan ludah, dan pikiran Renjun benar-benar kosong. Jantungnya berhenti, otaknya mati dan seluruh tubuhnya membeku.
“A-Apa?” Renjun terkejut, melepaskan tawa gugup. Apakah ini lelucon? Apakah ini salah satu pengganggunya dari sekolah menengah yang menginginkan hiburan?
“Penerbangan 004 diduga jatuh beberapa jam yang lalu,” kata pria itu, dan Renjun tidak mendengar apa pun yang datang setelahnya—alasan, permintaan maaf, penghiburan.
Mata Renjun buram karena air mata, bibir bawahnya bergetar dan desir kenangan melintas di benaknya—bibir Haechan dengan lembut menempel di bibirnya, lengan kekar Haechan melingkari pinggangnya dengan protektif, kaki Renjun terjerat dengan-
Senyuman seribu watt yang menyilaukan itu, mata mempesona yang gelap itu-
“Tidak mungkin…” Renjun menghembuskan napas dengan gemetar, tubuhnya menggigil saat cairan bening lolos dari matanya.
“Tidak, tidak, tidak mungkin!”
Tangisan histeris Renjun bergema di setiap penjuru rumah yang sunyi saat dia berlari keluar, meninggalkan pintu di belakangnya tidak terkunci. Tangannya merogoh ponsel disaku celana, sedangkan tubuhnya terbentur dinding pembatas sedangkan kakinya berjalan menuju tangga dengan tergesa.
Aku bakal cepat pulang, aku janji.
Mata Renjun berlinang dengan air mata dan dia hampir tersandung, tetapi larinya tidak melambat. Dia tidak peduli jika pergelangan kakinya terkilir, kakinya patah atau apa pun, dia harus pergi menemui Haechan.
I love you more, baby
“Haechan,” Suara gemetar Renjun berteriak pelan, kakinya sakit tapi dia masih terus berlari. Dia memikirkan pertengkaran mereka yang berakhir dengan permintaan maaf dan ciuman penuh gairah, makan malam mereka dihabiskan dengan tawa disertai dengan tangan yang saling bertautan, pagi mereka dimulai dengan sentuhan lembut dan bersandar satu sama lain di sofa-
“Tidak mungkin, Haechan-ah,” Renjun masih berusaha menelepon nomor yang sama, dalam hatinya merapalkan doa, kemudian jarinya mengetik banyak pesan pada Haechan yang tentu saja sia-sia. Renjun akhirnya keluar dari kompleks apartemen mereka. Dia disambut oleh kendaraan menderu melewatinya, arus mencakar bentuk histerisnya. Di seberang adalah jalan utama, di mana Renjun dapat menaiki taksi yang akan membawanya ke bandara.
Renjun tidak berhenti berlari sembrono. Penglihatannya kabur oleh air mata, air mata yang tidak bisa dia hapus karena dia terbiasa dengan Haechan yang melakukannya. Cahaya menyilaukan menembus matanya yang basah dan dia terus berlari dengan tergesa-gesa. Jalan hitam yang kasar membakar kakinya dan Renjun-
Dia mendengar suara klakson yang keras. Ban yang berdecit saat gesekan cepat dan tiba-tiba, lalu cahaya terang menyelimutinya. Dunia berputar terlalu cepat, dan yang bisa dilihat Renjun dalam kebutaannya hanyalah Haechan.
Hal terakhir yang dibisikkan Renjun adalah “Aku mencintaimu, Haechan.” Sedangkan ponsel yang ia genggam menampilkan pesan terakhirnya pada Haechan sebelum akhirnya dia berbalik, dan dia merasakan dampak brutal.
Pada keesokan harinya, rumah itu sunyi, seperti biasanya.