Vanilla and Spice
tags: oneshot, haeren bdsm!au, porn without plot, explicit sex scene, dirty talks, wax play, domestic, foreplay, fluff and smooth, anal fingering. Apa yang ada di sini biarkan tetap di sini, jangan dibawa ke real life karena sejatinya ini hanya fiksi karangan saya saja.
Disclaimer: I do not own Haechan and Renjun, they're belong to their parents, sm, and themselves.
ps. I don't gain any commercial advantage by publishing this au. This exactly is just for fun.
“Hey.”
Renjun mendongak, mulutnya sekarang tersumpal penis Haechan. Sebelah alisnya terangkat seolah bertanya, 'apa?'
Haechan tersenyum mendapati pemandangan tersebut. “Mau coba hal baru nanti malam?”
Renjun tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk lalu kembali melanjutkan aktifitasnya mengulum penis Haechan yang sudah ereksi. Mata Haechan terpejam merasakan lidah Renjun yang bermain dengan lubang uretranya. Sebelah tangan Haechan yang bebas mengusap kepala Renjun yang kini kembali bergerak maju mundur, “Bagaimana... kalau whipping?“
Gerakan Renjun kembali terhenti lalu melepaskan penis Haechan dari mulutnya dengan bunyi 'pwoop' nyaring. Hidungnya yang mancung sedikit mengerut mendengar ide sang kekasih. “Tapi aku ga ngerasa ingin dipukul malam ini.”
“Oke, cukup adil.” Kaki Haechan menggosok ke atas dan ke bawah paha dalam Renjun yang masih terbalut celana kerjanya. “Kalau begitu, mau coba yang mana?”
“Hmm.” Gumam Renjun seraya memegang penis Haechan dan diarahkan kembali pada mulutnya untuk dijilat seperti lolipop. Matanya tak sengaja menatap foto di atas meja, tepat di belakang Haechan, foto pernikahan mereka. “Yah, mungkin ropes.“
“Oh, kau mau aku mengikatmu?”
“Hmm. Mungkin... entahlah, memang apa saja yang belum kita coba akhir-akhir ini?”
“Kita masih punya lilin yang itu,” Tawar Haechan yang langsung membuat Renjun mengangguk cepat.
“Yasudah pake lilin saja,” balas Renjun seraya mengacungkan jempolnya ke udara. Ia berisap untuk kembali menjamah penis Haechan ketika lelaki itu kembali itu berkata, “Awesome babe, ada yang lain?”
“Kamu boleh pilih satu lagi untuk kejutan. Tapi ga boleh hitting. Okay?”
Haechan mengangguk. “Oke, klarifikasi: apa hitting termasuk spanking?”
Renjun mengerucutkan bibirnya. “Hm. Nah, spanking tak masalah. Tapi jangan pukul sama yang lain.”
“Siap dimengerti.” Balas Haechan mantap dengan wajah serius. “Mau sekalian dibuatin teh?”
“Ya boleh, tapi sesudahnya.” jawab Renjun. “Sekarang biarin aku nikmatin kontol kamu.”
Haechan tertawa, lalu kembali mengusap pucuk kepala Renjun. “Nikmatin pelan-pelan, yang. Kontolku ga bakal ada yang ambil kok.”
“Hmm.” Gumam Renjun sebagai respon, kini mulutnya sudah kembali disumpal penis Haechan. Tangan Renjun yang bebas kini ikut andil memijat-mijat batang kemaluan Haechan yang tak cukup masuk ke dalam mulutnya. Haechan sendiri menikmati setiap rangsangan yang Renjun beri, lelaki itu masih memakai atasan kemeja kerjanya yang lengkap sambil sesekali melihat ke arah dinding reflektive glass yang menjadi pemisah ruangan kerja miliknya dengan para karyawan.
“Ohhh—ahh,” Desah Haechan keenakan seraya menekan kepala Renjun semakin dalam. “Lihat ke sana babe, mereka harus tahu kalau sekertaris ku sangat binal dan lihai.”
Renjun ingin menyahut tapi mulutnya sibuk mengulum penis Haechan yang semakin membesar, semakin hangat, semakin dekat dengan pelepasan. Renjun semakin mempercepat kulumannya, matanya tak lepas dari Haechan yang juga sedang menatapnya.
“Ahh, mau keluar yang.” Haechan mendorong pelan kepala Renjun untuk melepaskan penisnya, lalu mengocok penisnya tepat di wajah Renjun yang sedang membuka mulut seraya menjulurkan lidah.
Cairan sperma Haechan menyembur mengenai wajah Renjun, kebanyakan masuk ke dalam mulutnya tapi ada beberapa yang juga yang kena pipinya. Renjun dengan cepat menelan cairan tersebut tanpa sisa.
“Fuck, cantik banget.” Haechan mengusap sisa sperma yang menempel di pipi Renjun dengan ibu jarinya lalu dimasukan ke mulut Renjun yang langsung diemut sampai bersih.
“Thanks for the meal.” ucap Renjun seraya tersenyum lebar membuat Haechan tertawa dan mengecup mesra dahi, pipi serta bibirnya secara bergantian. “Oh iya, untuk nanti malam...” Lanjut Renjun seraya menaikan resleting celana Haechan lalu mendudukan dirinya di pangkuan lelaki itu. “Aku bakal pulang duluan, lalu abis keluar dari kamar mandi,” tanganya ia lingkarkan di bahu Haechan, “We're On.“
“Abis keluar dari kamar mandi, we're On.” Beo Haechan. Renjun lalu mencium bibirnya sekilas sebelum melenggang pergi ke kamar mandi untuk merapikan penampilannya. Bagaiamanapun ia harus melanjutkan pekerjaannya sebagai sekertaris Haechan yang kini menatap tas miliknya dengan sebuah seringaian.
Renjun menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan penuh percaya diri. Dia terlihat sangat luar biasa malam ini. Setelah membersihkan diri, Renjun mengambil sikat gigi. Ia tahu Haechan tak akan peduli jika napasnya bau sup kimchi atau hotpot sekalipun, tapi Renjun adalah Renjun, ia ingin semuanya serba rapi, bersih dan steril. Ia ingin merasa seperti kanvas bersih yang siap untuk Haechan berikan tanda apapun yang lelaki itu inginkan.
Renjun menyikat giginya dengan cepat dan kembali memastikan tampilannya sebelum dia membuka pintu — bahkan setelah bertahun -tahun pun Haechan masih bisa membuatnya merasa gugup seperti anak remaja yang sedang dimabuk cinta.
“Oh, di sana kau rupanya.” Haechan berdiri di ambang pintu kamar, lengan kemeja lelaki itu digulung hingga siku, dua kancing kemejanya sudah terbuka sedangkan dasinya kini entah di mana. “Berlututlah,” Titah Haechan, menutup pintu di belakangnya dengan suara keras. Dia bersandar di sana, melihat Renjun yang langsung menurut. Renjun bukan tipe sub yang buruk, bukan anak nakal, tapi ia sudah lama menginginkan hal ini.
Haechan harus mengakui bahwa postur Renjun saat berlutut dengan patuh; terlipat lembut di atas lututnya, dahinya menempel di karpet, tangan diletakkan di sampingnya — sangat cantik. Kulitnya pucat dan halus dan sempurna, dan jari-jari kakinya terlihat dari bawah lekukan pantatnya yang bulat.
Perlahan dengan sengaja, Haechan mengambil tas yang dibawanya dari kantor. Dia melempar tas itu ke kasur dengan keras. Haechan bisa melihat ketegangan berkedut di bahu Renjun dalam sekejap mendengar suara itu, membuat Haechan mengulum senyum. Dengan sengaja Haechan membuat banyak suara dari ritsleting, dan gemerisik melalui barang-barang yang disegel secara higienis dan hati-hati yang dia sembunyikan di dalamnya.
Dan tetap saja Renjun tidak mematahkan posturnya.
Haechan mengeluarkan cambuk mini— yang lebih terlihat seperti mainan. Ia meletakkan cambuk itu dengan hati-hati kemudian mengalihkan perhatiannya kembali ke Renjun.
“Renjun,” Katanya, suaranya dalam dan bergema dengan cara yang menggairahkan. “Kau sudah siap?”
“Ya, Tuan,” Jawab Renjun. Dia tidak bergeming di tempatnya, tetapi jemari kakinya ditekuk kuat-kuat.
“Bagus,” Kata Haechan berjongkok di sampingnya. Dia bukan orang yang suka menahan pujian, namun ini adalah hukuman. Dia tidak akan memuji Renjun sebagai anak baik, meskipun sekarang Renjun menjadi anak yang patuh dan penurut. Lalu sebagai gantinya, ia berusaha mengulurkan tangan dan menjentikkan jarinya ke rambut Renjun, begitu kencang hingga Renjun bisa merasakan darah mengalir di pembuluh darah kulit kepalanya.
“Sekarang,” Lanjutnya, “Kau tau kenapa aku akan menghukummu, Huang Renjun?”
Ada getaran halus di bahunya, sedikit gerakan. Kelopak mata Renjun meluncur ke bawah, dan suaranya bergetar. “Ya, Tuan.”
Haechan mengguncangnya, sangat lembut. “Hm?”
“Aku....” katanya agak ragu. Ia tak tahu apa yang ingin Haechan dengar sebagai alasan, tapi mereka sedang dalam peran masing-masing maka Renjun mengatakan apapun yang ada di benaknya sekarang. “Aku telah berbohong,” Kepala Renjun mungkin akan jatuh lebih jauh ke depan, jika bukan karena genggaman erat Haechan.
“Benar,” Tangan Haechan yang bebas menjalar di tengkuk leher Renjun. “Kamu membuat kesalahan besar, Renjunnie, jadi aku akan menghukummu. Karena anak laki-laki yang baik belajar dari kesalahan mereka.”
Mata Renjun terpejam rapat, dan bibirnya bergetar, meringis. Wajahnya nampak pucat, namun rona di daun telinganya semakin memerah. Butuh waktu sepersekian detik untuk Renjun menyadari jika tangan Haechan berada di tenggorokannya.
“M-maaf,” Ia terengah-engah, menggigil, mencengkeram tangan Haechan dengan kedua tangannya sendiri.
“Jangan,” desis Haechan. Renjun membaca isyarat tersebut; ini bukan tindakkan anarkis melainkan hanya sebuah peran. Renjun menelan ludah dan mengangguk, membiarkan tangannya rileks kembali.
“Aku sudah mempersiakan diri.” kata Renjun.
“Good boy.” Gigi Haechan sangat dekat dengan telinga Renjun hingga dia bisa mendengar gerakan lidah Haechan di mulutnya. Cengkeraman Haechan bergeser dari tenggorokan Renjun ke lengannya, dan dia menyeret kekasihnya itu menuju kasur. “Ayo.”
Haechan mendorong Renjun dengan lembut hingga tubuh Renjun limbung ke atas tempat tidur. “Pakailah,” titah Haechan seraya melempar kemeja kebesaran miliknya. Renjun dengan patuh melepas kaosnya yang oversize kemudian terdengar Haechan mendecakkan lidahnya. “Lipat dengan rapi. Jangan jorok seperti itu.”
Renjun harus menahan tawa mendengar hal tersebut. Sangat lucu karena ucapan Haechan barusan sangat berlainan dengan kenyataan. Malah sejujurnya, Renjunlah yang mengatkn hal tersebut, tepatnya minggu lalu ketika ia menyuruh Haechan untuk mencuci piring. “Baik, Tuan.” kata Renjun seraya melipat kaos dan meletakkannya di atas nakas, lalu melepas celana dalamnya. Haechan menonton Renjun tanpa ekspresi dari sisi ranjang.
“Bagus,” Haechan pura-pura menguap saat Renjun sudah menggunakan kemaja putih kebesaran yang sengaja tak dikancingkan, sehingga tubuh Renjun yang polos terekpos bebas.
“Di tempat tidur.” titah Haechan.
Renjun mengacak-acak selimut dan duduk di tengah, kedua kakinya disilangkan.
“Jangan bergerak.” Haechan berbalik dan berjalan ke sudut ruangan yang jauh, meraih pintu lemari, dan membukanya; menampakkan rak dasi yang ditempel di bagian dalam setiap pintu. Rak sebelah kiri memiliki dasi Haechan— yang ia pakai untuk bekerja, dari yang mewah, hingga yang konyol pemberian Renjun untuknya saat Natal — ada juga dasi pernikahan, dengan penuh kasih digantung berdampingan di celah yang paling dekat dengan dinding. Rak sebelah kanan hanya memiliki dua tali dan itu lah yang digunakan Haechan untuk membungkam Renjun saat dia nakal.
Haechan mengerakan jarinya di sepanjang baris, seolah mempertimbangkan mana yang akan digunakan. Jemarinya melewati borgol, rantai, cambuk, dan berhenti tepat di tali, berada di bagian kedua setelah sabuk kain lembut milik Renjun. Dia mengaitkan jarinya di belakang gulungan tali itu dan menariknya sedikit keluar, lalu berbalik seolah meminta pendapat Renjun.
Renjun di tempatnya senjaga menjaga agar ekspresi wajahnya tetap kosong — toh ia tidak perlu menjawab. Tali tersebut adalah favoritnya, dan Haechan tau itu. Haechan menarik tiga gulungan dari rak itu dan melepaskan ikatannya saat dia berjalan kembali ke tempat tidur.
“Sepertinya ini sudah cukup,” katanya, berhenti di sisi tempat tidur. “Kau setuju?”
Renjun melebarkan kedua matanya lalu mengangguk.
“Jawab aku.” Titah Haechan
“Ya.”
“Ya... ?”
“Ya, Tuan.”
“Good boy, ” Haechan berlutut di tepi tempat tidur dan meraih salah satu kaki Renjun untuk ditarik hingga lelaki yang lebih kecil jatuh terlentang saat Haechan menyeretnya ke tempat tidur sampai dia berbaring sempurna di tengah.
Haechan mulai mengikat tali di sekitar kaki Renjun dan Renjun menopang dirinya menggunakn siku untuk menonton. Ia jadi teringat akan moment mereka berdua saat pertama kali melakukan ini, Haechan langsung berhasil hanya dengan sekali coba, mengikat Renjun dengan sempurna, dan Renjun akan cekikikan setiap kali Haechan mencoba menggelitiknya.
Haechan selesai mengikat tali kekang dan memeriksa simpulnya. “Apa terlalu ketat?”
Renjun menggelengkan kepalanya. “Tidak.”
“Bagus.” Haechan mengambil ujung tali yang longgar dan berlutut untuk mengikatnya ke kaki tempat tidur. Renjun membiarkan kakinya terentang sehingga Haechan tahu yang harus dia tangani.
“Tarik itu,” kata Haechan. Renjun menarik tali dengan kakinya. Ia kemudian mengangguk puas, dan meraih kaki Renjun yang satunya. Setelah selesai, Haechan mengikat tali kekang di tangan Renjun, kemudian mendorong tubuhnya untuk berbaring.
“Bagaimana, sayang?” dia bertanya, sambil melingkarkan tali di sekitar tiang tengah headboard.
“It's good.” gumam Renjun. Ia sudah siap menyerahkan kendali pada Haechan untuk tidak menyakitinya lebih dari yang bisa dia tangani.
“Bagus,” balas Haechan. Dia mengamankan tali dan turun dari tempat tidur untuk berdiri di sampingnya.
Renjun menjilat bibirnya dan menunggu Haechan yang menoleh ke arah meja samping tempat tidur. Ada lilin serta korek api, dan Renjun tahu bahwa Haechan pasti yang mengatur semuanya saat Renjun berada di kamar mandi.
Haechan kembali menatap Renjun dengan memegang sebotol lotion, dituangkannya lotion itu ke telapak tangan dengan konsentrasi yang intens – Haechan tidak melewatkan apapun, semuanya sudah dipertimbangkan dan direncanakan. Renjun menutup matanya saat Haechan berlutut di antara kedua kakinya.
“Ini akan terasa sedikit dingin.”
Renjun memejamkan mata dan menahan napas sampai tangan Haechan meratakan lotion di atas dadanya. Lotion-nya dingin, sangat kontras dengan tangan Haechan yang hangat, dan Renjun mendesah ketika Haechan menggosok tulang rusuknya, dan naik ke bahu, lalu turun ke perutnya. Ibu jarinya menekan ke dalam titik sensitif di lipatan paha Renjun, sambil sesekali meremas pantat sintal lelaki itu.
“Hmm,” Haechan duduk kembali, dan saat Renjun membuka matanya, dia mengelus dagunya sambil berpikir. “Sepertinya ada yang kurang.” Renjun memaksa dirinya untuk tidak melihat saat Haechan melompat dari tempat tidur. Ia mendengar derit pintu lemari lagi dan gesekan laci yang dibuka tutup. Haechan bersenandung; mempertimbangkan, lalu membuat suara 'ha!' rendah yang masih bisa terdengar.
Saat Haechan kembali ke ranjang, Renjun tak bertanya apa yang diambilnya. Lelaki itu kemudian kembali berlutut di antara lutut Renjun dan menggosok tumit dengan sebelah tangan hingga ke atas paha Renjun.
“What a nice view. ” Katanya seraya menyentuh perut Renjun. “Pemandangan ini hanya untukku.”
Renjun menghembuskan napas di antara bibirnya. Melihat itu Haechan hampir saja menggodanya, namun ia menahan diri dengan baik. Ia ingin Renjun bertanya-tanya tentang apa yang akan dilakukannya. Bahu Renjun terasa sedikit rileks saat Haechan mulai menelusuri lubang anal Renjun dengan jarinya yang licin. Lalu tiba-tiba dua jari Haechan mendorong masuk membut Renjun terkesiap dan meremas sprey dengan kedua tangan.
“Sssh,” Haechan menenangkan, menggosokkan tangannya yang lain ke pinggul Renjun. “Tenang, sayang. Jadilah anak baik.”
Renjun mengangguk dan membiarkan kepalanya jatuh kembali ke tempat tidur, melemaskan otot-ototnya dan membiarkan Haechan bermain dengan lubang analnya yang kini berkedut merespon setiap tusukan jemari Haechan. “Lubang kamu ga sabar buat aku kontolin ya, hm?” Kata Haechan tak melepaskan pandangannya. “Masih belum sayang, masih belum.”
Desahan Renjun mengalun merdu di telinga Haechan membuat lelaki itu kian lihai memainkan jarinya, “Sempurna,” bisik Haechan. Jari telunjuknya menyentuh penis Renjun, membuat napasnya tertahan sepersekian detik. “Kamu tau persis apa yang ingin ku lihat.”
Jari-jarinya yang kokoh dan panjang ditarik keluar dan ada momen hening sebelum sesuatu yang lain masuk – bukan penis Haechan, lelaki itu masih berpakaian lengkap- ini sesuatu yang lebih kecil, lebih dingin. Saat benda itu meluncur masuk, Renjun menyadari itu salah satu plugs milik mereka.
Haechan menekan dasar steker dan berbalik. Detik berikutnya, ada suara klik, dan Renjun mengerang dibawah getaran nikmat yang menyumpal lubang analnya.
“Enak?” tanya Haechan, membungkuk untuk meletakkan remote di meja samping tempat tidur. “Tapi pasti lebih enakan kontol ku,” Dia memberi Renjun seringaian jahat dan menepuk lututnya.
“Fuck.” Umpat Renjun, napasnya kini sudah kacau. Penisnya yang menggantung ikut bergetar, sedangkan lubang analnya yang pink dipenuhi cairan bening yang hampir mengotori sprei.
“Ga boleh ngomong jorok.” Tegur Haechan, “Masih belum boleh,” Jarinya terangkat dan menempel di bibir Renjun, hendak membungkam kata-kata kotor dari bibir mungil itu. Renjun membiarkan lidahnya menyelinap di antara bibirnya, cukup untuk menyentuh jari Haechan. Dia bisa melihat mata lelaki itu menjadi gelap saat lidah Renjun menjilat jarinya.
Napas Haechan sedikit memburu lebih cepat saat bibir Renjun terbuka dan memasukkan ujung jari Haechan ke dalam mulutnya. Renjun menghisap jari-jari itu dengan lembut, anggun dan sensual, ia tak melepaskan tatapannya dari Haechan barang sedetik pun. Jika saja tangannya bebas, dia akan memegang pergelangan tangan Haechan untuk ditarik lebih dekat, lalu menghisap jemarinya lebih dalam, tapi Renjun sekarang hanya bisa mengangkat kepalanya, mengejar jari-jari Haechan saat jemari itu ditarik menjauh.
“Binal banget, yang. Mau bikin aku seneng, hm?” Tanya Haechan, suaranya terdengar parau. Renjun tidak menjawab, hanya tersenyum padanya dengan cara yang ia harap bisa menyampaikan jawaban ya padanya. Ia ingin menyenangkan Haechan, ia akan melakukan apa saja yang Haechan minta dalam keadaan seperti ini.
Haechan berbalik dan mengambil salah satu lilin dari atas meja samping tempat tidur. Sekarang sudah terbakar selama beberapa menit, dan ada genangan lilin yang cukup di sekitar sumbu. Haechan duduk; memegang lilin dengan hati-hati di atas perut Renjun. “Sekarang,” dia memulai, matanya beralih di antara Renjun dan lilin. “Kamu mau buat aku seneng?”
Renjun mengangguk, matanya tertuju pada nyala api. “Mau bersikap baik? Jadi anak yang baik?”
Renjun mengangguk lagi.
“Kalau gitu, jangan sampai buat suara okay?
Haechan mulai memiringkan lilin itu, dan Renjun menyaksikan lelehan lilin mengalir ke tepi, namun tak cukup miring hingga tumpah. Renjun menggelengkan kepalanya keras. “Bagus.” Haechan menurunkan lilin dan memiringkannya sampai tetesan pertama jatuh.
Renjun menggigit lidahnya saat lilin itu mengenai kulitnya. Itu selalu terasa lebih panas dari yang dia ingat – cukup untuk membuat kulitnya terasa seperti terbakar, meskipun tidak pernah benar-benar meninggalkan bekas. Haechan tidak memberinya waktu sedetik pun untuk menyesuaikan diri dengan suhu. Bahkan sebelum Renjun memasok udara lagi, Haechan menuangkan lelehan lilin membuat garis di dadanya. Renjun terengah-engah, tangan mengepal di mana mereka terikat di atas kepalanya.
“Hati-hati sayang,” Haechan memperingatkan. “Jangan sampai membuat suara.”
Renjun menggigit bibir bawahnya dan mengangguk. Sebelah tangan Haechan yang bebas mengusap lembut berusaha menenangkan, lalu diikuti oleh percikan lilin lainnya. Renjun menggertakkan giginya, membiarkan dirinya merasakan panasnya; meyakinkan diri jika perasaan nikmat lebih mendominasi daripada rasa sakit.
“Hmm” gumam Haechan, sudut bibirnya terangkat naik, puas akan ekspresi yang diberikan Renjun, “Itu yang ku mau, sayang.” lalu Haechan sekali lagi menumpahkan lelehan lilin itu, kali ini diangkat lebih tinggi dan menciptakan dua garis berulang di atas perut Renjun yang rata.
Panasnya lilin dan intensitas vibrator menciptakan tekanan di perutnya membuat Renjun sulit untuk mengendalikan diri. Semakin dia berusha fokus, perasaan liar semakin merayap padanya.
“Chan-”
“Hm?” Haechan mendongak dari hasil karyanya yang dia lukiskan di kulit Renjun. “Ada apa sayang?”
Renjun hanya membuka mulutnya, berusaha untuk mengatakan sesuatu.
“Ini?” Haechan menempelkan satu jari dinginnya ke penis Renjun, dan ia merasa matanya berputar ke belakang.
Ya Tuhan, ya Tuhan—
Haechan meraih pangkal penis Renjun dan meremasnya dengan keras. Renjun bergerak gelisah dan mengeluarkan tangisan, kepalanya terus terlempar ke belakang dengan putus asa. Haechan memberinya remasan lalu mencondongkan tubuhnya untuk berbisik ke telinga Renjun. “Kamu ga nurut sayang,”
Renjun menutup mata dan menggertakkan gigi, tapi dia tidak bisa menahan rengekan yang keluar dari mulutnya. Hal itu membuatnya mendapat tamparan di paha dan tetesan lilin langsung ke pusarnya.
Fuck. Fuck. Fuck.
“Kamu harus dihukum.”
Renjun menegup ludah gugup, matanya mencoba menatap Haechan yang kini turun dari kasur dan melepas kedua ikatan di kakinya. Kaki Renjun membuat suara ngilu saat Haechan menjatuhkannya ke kasur, “Maaf,” Katanya seraya mengelus kaki Renjun, “Sakit ga?”
Renjun menggeleng, dan sukses membuat Haechan bernapas lega. “Bagus. Sekarang berbaliklah.” titahnya yang langsung dituruti, kini Renjun berlutut menghadap headboard dengan tangan yang masih terikat. Haechan kembali naik ke kasur dan memposisikan dirinya di belakang Renjun untuk menciumi punggung lelaki itu lalu ciumannya turun ke bawah untuk menghisap kulit pucat pahanya.
Renjun menggigil dan menahan napas di balik giginya. Vibrator masih berdengung di dalam lubang analnya, dan pada sudut ini, benda itu sudah mengenai titik prostatya beberapa kali.
“Sepertinya kita udah ga butuh ini,” kata Haechan, meraih dasar vibrator dan menariknya keluar, membuat Renjun mengerang, dan Haechan memukul tepat di bagian atas pahanya. Renjun memejamkan mata untuk mencoba menahan air mata, lidah merayap di antara giginya lagi untuk mengalihkan perhatian.
Haechan mematikan vibrator dan meletakkannya di atas meja. Renjun menunggu, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Haechan selanjutnya.
“Angkat bokongmu.” Haechan membuka celana lalu mengocok penisnya sebentar sebelum ia tempelkan ke pantat sintal Renjun. Digeseknya beberapa kali membuat Renjun melenguh tak sabar namun juga tak bisa mengeluarkan protes apapun.
Ah anjing — cepet masukin, cepet kontolin. Genjotin yang kenceng.
Haechan terkekeh, ia tahu betul jika Renjun-nya tak sabar, namun demikian digeseknya sekali lagi sebelum penisnya masuk ke dalam lubang penis Renjun yang sudah merenggang sempurna. Kedua tangannya memegangi Renjun di samping pahanya, dihentaknya kuat hingga tubuh Renjun menabrak headboard; hentakkannya menekan tepat ke titik prostat membuat Renjun berteriak. Pantat Renjun ditampar cukup keras, meningglkan rasa perih dan kebas, ia menangis lagi dan kembali menerima pukulan keras di kulit tepat di sebelah bolanya.
“Kalau tak bisa mengendalikan dirimu, aku akan terus melakukan ini,” kata Haechan. Pinggulnya dihentakkan hingga membuat suara kencang, tubuh Renjun hampir limbung jika tangan Haechan tak menahannya dengan kuat. Sangat kuat hingga meninggalkan tanda merah mengihiasi pinggulnya. Gerakan Haechan semakin liar bak kesetanan dan Renjun menggigit bibirnya saat air mata pertama meluncur di wajahnya.
“Hei,” kata Haechan, mencubit dagu Renjun. “Aku udah bilang jangan lakukan itu.” Renjun membiarkan Haechan membuka mulutnya untuk melepaskan bibirnya yang memerah, membiarkan napasnya berderu kasar, air mata mengalir di wajahnya saat penis Haechan kembali menusuk prostatnya. Renjun ingin berteriak, ingin mengerangkan nama Haechan ingin menyerah dan melakukan pelapasan tetapi dia juga tak mau jika tidak menuruti Haechan. Pada akhirnya, ia terus menahan diri.
“Bagus,” gumam Haechan, hentakkan pinggulnya bertambah cepat. “Ya, seperti itu.” Tangannya membelai dada Renjun, meremas lalu memilin putingnya.
Kepala Renjun terasa berputar-putar. Sementara itu Haechan mulai memukulnya lagi — yang pasti karena Renjun membuat suara, tapi dia tidak tahu apa itu. Ia tidak bisa mendengar apa pun dari dengungan di telinganya. Perasaan merinding menjalar di tulang punggung, dan samar-samar ia menyadari bahwa Haechan sedang berbicara. Tangan Haechan kini bergerak mengocok penis Renjun.
Ini seperti siksaan, ini kejam.
Kepala Renjun terlempar ke belakang beradu dengan bahu Haechan. Keringatnya bercucuran, kakinya bergetar hebat, hingga saat Haechan merasakan dinding anal Renjun menjepit penisnya, lelaki itu berkata “Sekarang udah boleh bersuara sama ngecrot, yang.”
Itu adalah kata-kata terindah yang pernah Renjun dengar. Dengan erangan kasar, dia memejamkan mata lalu menyemburkan spermanya, mengotori tangan Haechan. Setelah ditahan begitu lama, pelepasannya eksplosif. Penglihatan Renjun memudar, raungan di telinganya mereda, api seolah menjalar sampai ke ujung setiap jari membuatnya lemas terkulai. Perutnya terasa hangat ketika Haechan mencapai pelepasannya.
Ketika dia bisa bernapas lagi, Haechan telah menarik diri dan melepaskan tali yang mengikat tangannya, membiarkan tubuh Renjun jatuh ke tempat tidur.
“Mau duduk?” tanya Haechan. “Atau mau begini aja?”
“Gini.” gumam Renjun seraya membuka mata, lalu tersenyum ke arah Haechan.
“Bisa gerak ga, yang?”
Renjun menggeleng. “Ga.”
“Baiklah, sayang,” kata Haechan, ada nada geli dalam suaranya. “Waktunya membersihkanmu.”
“‘Kay.”
“Ini dia.” Haechan dengan lembut mendorong kaki Renjun ke bawah, berhati-hati agar tak mendapat erangan protes dari Renjun. “Itu agak sakit, ya?” tanyanya seraya menggendong tubuh Renjun dengan gaya bridalstyle “Tenang yang, aku bakal urus semuanya.”
Haechan membawa Renjun ke kamar mandi dan meletakkannya di bathtub, lalu menyingkirkan botol sampo dan sabun mandi untuk memberi ruang. Gerakannya telaten, metodis, kemudian ia mengambil kepala pancuran yang bisa dilepas di satu tangan dan scrub di tangan lainnya, dia membersihkan lilin dari tangan dan dada Renjun; mengikis bagian yang lebih membandel dengan kukunya.
Renjun menyandarkan kepalanya ke pangkal bathtub dan membiarkan Haechan menggerakkan dirinya sesuai keinginan Haechan, mengangkat tangannya, mencuci tubuhnya, membilas punggungnya, bahkan membersihkan sisa sperma di lubang anal Renjun dengan teliti.
Sebuah erangan lemah lolos dari bibir Renjun ketika tangan Haechan tak sengaja menggosok bagian kulitnya yang memerah. “Nanti bakal ku oles pakai minyak sama lotion pereda nyeri.” Gumam Haechan, “Jangan khawatir oke?”
“Mkay.” balas Renjun lemah, kemudian ia membiarkan Haechan mengangkat tubuhnya untuk dipakaikan handuk, dikecupnya sekilas dahi Renjun lalu kembali digendong ke kamar.
“Mau pakai yang minyak, lotion atau spray?” tanyanya ketika memilih di depan sebuah laci dekat lemari.
“Yang mana aja.” gumam Renjun seraya menarik sebuah bantal dan memeluknya. “Kamu yang pilih.”
Haechan kembali naik ke kasur dengan hati-hati, ia tak ingin menyakiti Renjun lebih dari yang sudah ia lakukan. Kemudian terdengar tutup botol spray pereda nyeri terbuka, “Bakal sedikit perih yang,” katanya seraya menyemprotkan benda itu dan membuat Renjun menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Haechan kemudian memperhatikan paha Renjun dengan hati-hati, tidak hanya menyemprotkan aseptic ke tanda merah tetapi juga menemukan otot yang sakit dengan ibu jarinya, memijatnya penuh perhatian sampai ketegangan mereda dan Renjun menghela napas lembut ke bantal di pelukannya. Renjun setengah tertidur dengan bahagia, bersenandung di setiap sentuhan indah dari jari-jari Haechan.
“Udah ngerasa lebih baik?” Haechan berbisik, merangkak dengan tangan dan lutut untuk mencium pipi Renjun
“Ya,” Renjun menghela napas.
Haechan tertawa pelan dan menempelkan hidungnya di tengkuk Renjun. “Mau turun dan menonton TV? Sekalian kubuatkan teh.”
“Ya, tolong,” gumam Renjun.
“Oke. Tapi harus duduk dulu, aku gak bisa gendong kamu kalo gini.”
“Mm.”
Haechan mengaitkan tangan di bawah ketiaknya dan menariknya untuk duduk. Renjun melingkarkan tangannya di pinggang dan juga di leher Haechan, kakinya melingkari pinggang Haechan, dan mendesah ke tulang selangkanya. “Ayo jalan.”
Haechan mendengus sayang. “Oke, koala kecil.”
Setelah turun ke ruang TV, Renjun terbungkus selimut di sofa dengan secangkir teh di tangannya, sebelah lengan Haechan melingkari pinggangnya, jemarinya menyisir rambut Renjun yang kini tengah menguap.
“Chan?”
“Ya, sayang?” Haechan mencium tengkuk leher Renjun dan membiarkan bibirnya berlama-lama di sana.
“Kau mencintaiku?”
Haechan tersenyum di bahu Renjun. “Tentu saja aku mencintaimu, sayang. Kenapa tiba-tiba nanya begitu?”
Renjun menggelengkan kepalanya. “Cuma ingin tanya saja.”
“Hm.” Haechan mencium leher Renjun hingga ke telinganya. “Aku mencintaimu lebih dari… kimchijigae.”
“Wow, sangat impresif.” katanya dengan wajah datar.
“Aku mencintaimu lebih dari Michael Jackson,” lanjut Haechan, menelusuri lengan Renjun.
“Amazing.
“Aku mencintaimu lebih dari musik.”
“Lebih dari Musik?!”
“Ya.” Haechan menautkan jemari mereka, ibu jarinya ada di atas cincin emas putih yang tersemat di jari keempat Renjun. “Itulah kenapa aku menikahimu.”
Renjun tersenyum dan memiringkan kepalanya kembali ke bahu Haechan. “Bahkan setelah menikah?”
“Bahkan setelah menikah,” Haechan mencium pipinya. “Semakin bertambah setiap harinya.”
“Mm.” Renjun membiarkan senyumnya menyebar menjadi seringai saat Haechan memyesap teh miliknya. “Aku pun mencintaimu.”
Haechan mengecup pucuk rambut Renjun dan berbisik. “Terima kasih, sayang.”
.
Fin.