I'm such a slut for you my Prince

tags oneshoot, haeren, victorian!au but actually it's just porn without plot, anal fingering, implicit sex scene, dirty talks.

rate-M means no minors allowed.

Cahaya matahari terbenam mengintip lemah melalui langit berkabut dari udara musim gugur, terbenam rendah di perairan kolam seperti selimut kasa. Itu pemandangan yang indah, tapi Haechan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan melintasi jembatan. Gerakannya cepat namun senyap menuju tempat tinggal tamu kerajaan di sebelah timur Istana Raja.

Langkahya yang lebar hanya ditemani cahaya kuning temaram dari lampu-lampu minyak yang menerangi sepanjang jalan. Terlepas dari kesunyian yang menakutkan, langkah Haechan tak goyah saat ia berjalan melalui lantai batu bata dengan mudah.

Setelah mencapai pintu salah satu kediaman tamu kerajaan, Haechan memperlambat langkahnya, berhenti untuk mengamati sekeliling dengan cermat sebelum merayap menuju tangga kecil yang mengarah langsung ke perempatan. Ketika dia memastikan tidak ada orang lain di sekitarnya, dia kembali berjalan melalui aula batu tanah dan berjalan ke tempat yang dia tuju. Haechan dengan sigap mendorong pintu hingga terbuka, matanya berkilauan dalam kegelapan saat dia menyesuaikan diri dengan ruangan yang hanya ditemani dengan cahaya lilin.

Dan itu dia. Renjun duduk di tepi tempat tidurnya, rambut hitamnya yang halus dan gelap masih diikat rapi dengan pita kuning. Ruangan itu sendiri cukup indah, api yang berkelap-kelip membuat bayangan menari di lantai, dan nyala apinya yang berderak adalah satu-satunya suara lain yang bisa terdengar selain napas mereka yang stabil. Pada kenyataanya api itu tak cukup menerangi lebih dari wajah si penari, dan tubuhnya tetap diselimuti kegelapan. Semua ini tidak penting bagi Haechan yang secara otomatis bergeser ke arah sang penari, seperti air pasang yang menarik ke arah bulan.

Haechan berani bersumpah demi Surga bahwa tak ada apa pun di ruangan itu yang dapat menandingi keindahan Huang Renjun.

“Maafkan aku,” kata Haechan sungguh-sungguh, tetapi tak lama ia pun langsung terpesona dan tak berdaya ketika bibir mungil si Penari menunjukkan ketidakpuasan. Jika saja sang Ratu ada di sini dan melihatnya, dia akan langsung menghukum Renjun karena sudah bersikap lancang pada Putra Mahkota. “Aku punya masalah untuk didiskusikan dengan para dewan kerajaan,” jelas Haechan sebelum meraih salah satu lilin yang diletakkan di atas meja rias Renjun.

“Tapi aku di sini sekarang,” kata Haechan sambil bergerak mendekati tempat tidur. “Dan hatiku selalu bersamamu — oh.” Putra Mahkota itu tiba-tiba berhenti. Cahaya lilin bergerak bersamanya, akhirnya menerangi si Penari dan kecantikannya. “Oh, moon,” kata Haechan memuja, kehangatan menyinari dirinya saat dia melihat penampilan Renjun.

Sepanjang hidupnya sebagai Putra Mahkota, Haechan belum pernah melihat mahluk berparas indah seperti Renjun, dan dia berterima kasih kepada Surga setiap hari atas hidupnya yang diberkati – sehingga ia dapat dipertemukan dengan Renjun dan dapat melihat pemuda itu dalam berbagai cara berpakaian, mulai dari bajunya untuk melakukan pementasan, ataupun gaun malamnya yang tipis untuk pakaian tidurnya; dan demi Surga ia bahkan lebih suka saat Renjun menanggalkan semua pakaiannya, menampilkan kulit pucat dan puting kemerahan yang disukai Haechan.

Putra Mahkota itu bisa merasakan air liurnya hampir menetes membasahi sprei, ketika dia baru saja melihat puncak puting Renjun yang kemerahan dan kaku, memohon agar Haechan memainkanya. Bahunya yang sempit terekpos bebas saat kain tipis itu terlepas, memperlihatkan kulitnya yang pucat dan berbintik-bintik. Kain sutra yang dingin menempel dengan lembut pada tubuh Renjun yang lembut, terbungkus menggoda di sepanjang lekuk pinggulnya dan jatuh di sepanjang bagian atas pahanya yang lembut dan montok. Dia tidak berdaya terhadap rayuan yang diajukan oleh sang Penari dari Jillin ini, matanya mengikuti dengan rakus di sepanjang kulit kakinya yang terbuka dan — oh moon – lagi-lagi Haechan harus terperangah dibuatnya.

Kaki kurus dan halus tanpa noda itu seolah menantang Haechan untuk mengecupnya— menjilatnya. Ia menemukan rasa lapar yang meraung lebih keras di dalam dirinya saat melihat pita warna kuning cerah melilit di sekitar tulang halus pergelangan kaki Renjun. Warnanya yang cerah memberi kesan elegan pada kulitnya; pergelangan kakinya biasanya tersembunyi di balik kain penutup panjang. Tiba-tiba, Haechan mendapati dirinya ingin sekali menempelkan bibirnya ke tulang pergelangan kakinya, memberi ciuman lembut, melihat apakah Renjun di sana sama sensitifnya seperti di bagian tubuh lain.

Ada rona merah samar yang mekar di pipi lembut Renjun, bahkan saat wajahnya tetap datar dan tidak bergeming. Haechan mengenali tanda-tanda keinginan si Penari dan rasa malu yang ditimbulkannya, dan dia tahu wajah tanpa ekspresi adalah upaya Renjun untuk menyamarkan keinginannya yang meningkat akan Haechan untuk menyentuhnya, untuk mencintainya.

Sebuah desahan lembut lolos saat Renjun melompat maju, menjilati mulut Haechan dan membuatnya terengah-engah. Dia menggeser tangannya ke atas sampai menangkup pipi Renjun, memiringkan wajahnya untuk memperdalam ciuman mereka. Renjun sedang mendesahkan namannya sekarang, pinggulnya terus bergerak saat dia menabrak perut Haechan. Penisnya menggantung mengenai perutnya, dan Haechan sendiri bergerak tidak nyaman saat dia melawan keinginan untuk menyerang pria yang lebih kecil.

Ketika Haechan menarik diri, dia disuguhi dengan pemandangan mata Renjun yang berkaca-kaca karena perasaan senang yang membuncah. Bibirnya bengkak, basah karena ludah, dan terbelah dengan menggoda. Dia terlihat cantik, halus.

“Merindukan ku?” tanya Haechan seraya tersenyum lebar sama sekali tak berusaha menyembunyikan perasaan senangnya.

“Yeah,” jawab Renjun tak sabar, “Kangen kontol kamu.” lanjutnya dengan rona merah mengihiasi kedua pipi. Rasanya sulit dipercaya jika kata jorok tersebut keluar dari bibir Renjun yang bahkan di situasi ini pun masih terlihat lugu dan polos. Atau barangkali mata sang pangeran lah yang sudah terlalu dibutakan oleh cinta.

Renjun kembali mencium Haechan, mengabaikan lelaki itu yang bergumam di bibirnya. Mata anak laki-laki yang lebih kecil terpejam, menekan Haechan dengan rakus. Kali ini, Haechan membiarkan tangannya mengembara sampai menempel di punggung Renjun. Telapak tangan satunya menyentuh pipi renjun lalu turun meremas pantatnya yang bulat saat dia menjilati mulutnya, menuangkan semua cintanya ke dalam ciuman itu.

Renjun kemudian melingkarkan kakinya di pinggang Haechan, menarik pria yang lebih tinggi itu mendekat ke arahnya. Kain sutra yang dikenakannya tersibak, dan rasa lapar di dalam dirinya terasa lebih kuat; menyentuh, mencium, memiliki. Dia bisa merasakan kaki Renjun bergerak gelisah di punggungnya, dan penisnya berkedut saat mengingat pita halus melilit pergelangan kaki Renjun.

Haechan kembali mengambil jarak dan langsung mendapati rengekan keluar dari bibir Renjun. Matanya diliputi gairah saat dia menggoda penis Haechan, menimbulkan erangan dari pria yang lebih tinggi. Tangan Haechan kembali meremas pantat Renjun, mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik. “Kau tahu,” Haechan memulai, suaranya rendah dalam bisikan. “Aku menginginkanmu setiap waktu. Saat bangun tidur, sarapan, saat latihan berkuda dan memanah bahkan saat rapat bersama dewan kerajaan, yang ku pikirkan hanya dirimu...” Haechan mendengar Renjun menarik napas tajam saat dia menekan ciuman basah dengan mulut terbuka di ceruk lehernya.

“Hmmh- hnngghh-” Rancu Renjun ketika tangan Haechan meraih ke bawah, menggoda penis Renjun dengan telapak tangannya yang besar. Kepala Renjun terlempar ke belakang saat dia terbawa dalam euforia nikmat yang meluap-luap. “Mhmasukin shhhkarang-”

Bibir Haechan tertarik ke atas, “Hm? Coba bilang sekali lagi sayang?” katanya seraya mengelurkan penisnya yang sudah tegang, tepat di hadapan wajah Renjun yang menengadah; memerah, terangsang akan tumpukan gairah.

“Masukin kontol Pangeran yang gede-” Renjun melebarkan kedua kakinya selebar yang ia bisa, menampakkan lubang anal yang basah, “Masukin sinih, ewe sampai aku ga bisa gerak, genjot sampai aku gabisa lagi teriak, sampai analku-” Kalimatnya terpotong tatkala Haechan menerjangnya dengan ciuman bertubi-tubi di bibir Renjun.

“Fuck- fuck- fuck,” Umpatan itu lolos dari bibir Haechan, seorang Putra Mahkota yang terhormat dan mulia nyatanya tak berdaya di hadapan Huang Renjun. Ciumannya turun ke dada, lidahnya menyapu puting Renjun yang mengeras; dihisapnya, dikulum, lalu digigit cukup kuat hingga Renjun merintih keenakan.

“Yes, my princeh-” Renjun menggeliat di atas seprai saat Haechan memasukan jarinya dan melakukan fingering. “Fuckh- ah, ah, fuckmdh— ah!”

Tangan Renjun meremas seprai kuat-kuat, kepalanya ia lempar ke belakang, dadanya terangkat saat merasakan kepala penis Haechan menerobos lubang analnya, kuat dan cepat. “Fuck!” Renjun terengah, napasnya berat dan kacau. “So bigh- so goodh- aahngh-”

Haechan menggerakan pinggulnya perlahan; mencoba membenamkan penisnya semakin dalam. Sedetik kemudian ia berhenti untuk meraup pasokan udara, ia merasakan darah seolah mengalir deras ke wajahnya menghiasinya merah— marah akan denyutan nikmat dinding lubang anal Renjun yang menghimpit setiap jengkal penis Haechan. “Fuck.”

Mulut Renjun terbuka dan ia hampir berteriak, matanya terpejam saat pinggul Haechan kembali bergerak, kali ini lebih cepat, dan akurat; penis Haechan menyodok titik prostat Renjun dengan kuat. Sebelah tangan Haechan meremas pangkal penis Renjun dan membuatnya mengerang bersamaan dengan cairan sperma yang keluar mengenai tangan Haechan, sementara itu penis Haechan berkedut sebelum akhirnya melakukan pelapasan, menumpahkan sperma miliknya di dalam, memenuhi anal Renjun yang hangat dan basah.

Mereka sibuk mengatur napas yang memburu sampai akhirnya iris mereka tak sengaja bertemu, dan ada ribuan kata, pujian- kasih sayang yang ingin mereka ucapkan satu sama lain namun akhirnya mereka tumpahkan semua perasaan itu pada ciuman lembut dan dalam. Hingga tiba-tiba Haechan melepaskan ciuman mereka untuk membisikan sesuatu yang membuat mata Renjun membulat, sementara kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.

“I love you too, my prince.”