“Bagaimana harimu?”
Adalah kalimat sapaan yang Hazen dapat ketika dirinya menghampiri Reniene yang duduk bersandar pada headboard kasur; lengkap dengan piyama kesayangannya yang bercorak moomin. Ia terlihat lelah namun hal tersebut tak mengurangi kecantikan-ketampanan wajahnya sama sekali. “Tidak buruk.” Jawab Hazen seraya memberi kecupan singkat di bibir Reniene, lalu menggusak surai hitam lelaki itu sebelum akhirnya mengambil jarak dan mulai menanggalkan satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya.
Reniene memperhatikan Hazen dalam diam hingga lelaki itu akhirnya selesai mengganti baju. Hazen yang ditatap seperti itu akhirnya menatap manik hitam Reniene seraya berkata, “Bagaimana pestanya tadi?”
“Sangat menyenangkan, sebenarnya. Kami minum-minum, kemudian pergi ke tempat baru yang pernah ku ceritakan, ingat? Dimana Jovano melakukan desain interior dan semuanya.”
“Oh... ya, apa banyak wartawan yang datang?” Hazen duduk di sisi sebelah Reniene yang kosong dan membuka laptopnya.
Reniene mengangguk, “Publisitasnya bagus jadi banyak orang yang datang… Oh, ayolah Zen! Letakkan benda itu barang sebentar saja!”
“Maaf sayang, aku hanya perlu memeriksa beberapa email.”
“Ngomong-ngomong, aku tak tahu kenapa tapi entah bagaimana Celvin dan Jion berakhir sangat mabuk… aku pikir mereka sudah minum sebelum bertemu kami. Penjaga di sana hampir meninggalkan Celvin dan oh! Nathan ada di sana-”
“Ah, sepertinya Jono baru saja mengunggah beberapa foto.”
Reniene terkekeh mendengar nama panggilan Hazen untuk Jovano, “Coba ku lihat!” Ia mendekat hingga Hazen bisa mencium aroma parfum dari tubuh sang suami, “Oh, itu sungguh manis… Ugh, hanya aku yang terlihat mengerikan di foto ini.” Reniene mengerucutkan bibirnya. “Wow, Celvin terlihat sangat mabuk.” lanjutnya diselingi beberapa tawa di setiap foto yang mereka lihat, hingga akhirnya foto Reniene dan seorang pria tak dikenal tengah memeluk bahunya muncul. Mereka berdua tersenyum dan pria itu mengangkat gelasnya seolah bersulang ke kamera.
“Siapa itu?” Hazen melihat foto selanjutnya, di foto tersebut Reniene melihat sesuatu di luar bingkai -panggung, mungkin- beberapa teman mereka tertawa dan pria asing itu tersenyum sambil menatap ke kanan. Ke arah Reniene yang nampak tak sadar akan hal itu.
“Hanya seorang pria yang kami temui di sana.” Jawab Reniene kaku. Dia kembali ke tempatnya semula dan mulai memainkan cincin yang tersemat dijari manisnya. Ketika Hazen tidak menjawab, dia balas menatap dan mendapati sang suami sedang menatapnya dengan alis terangkat. “Dia ingin berdansa denganku dan aku bilang ya.” akunya.
“Dia hanya orang asing yang sedang berkeliaran, tapi cukup penting untuk ikut difoto?” Hazen menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatap Renjun penuh sanksi.
“Dia sangat baik, tidak perlu dibesar-besarkan.”
“Bukan aku yang membesar-besarkan, Ren. Kaulah yang menjadi terlalu defensif.”
“Aku tahu kalau kau mudah cemburu, Hazen, aku tidak-”
“Yah, aku baru saja melihat foto suamiku memeluk pria lain di klub malam.”
“Ya, Tuhan.” Reniene mendesis, “Kau mengatakannya seolah aku dan dia bermesraan atau semacamnya! Dia hanya ingin menari, ini adalah klub dansa tempat orang-orang berdansa…”
“Juga tempat untuk bercinta.” Hazen menyela penuh penekanan di setiap kata. Nada mereka mulai meninggi.
“Dia bahkan tidak— Ya Tuhan! Hazen, aku bahkan tak habis pikir mengapa kita mendebatkan hal konyol ini.”
“Nah, bagaimana perasaanmu jika sebaliknya?”
“Aku—”
“Got a cat on your tongue?”
“Tidak begitu!” kata Reniene penuh frustrasi.
“Kau benar,” Hazen melihatnya penuh amarah. “Kau memang tak pernah cemburu, atau mungkin memang tak peduli sama sekali.”
Mereka saling menatap selama beberapa detik yang terasa begitu lama. Mengunci tatapan satu sama lain seperti dalam pertarungan untuk mendominasi. Akhirnya, Reniene menyerah.
“Kau tahu apa? Persetan dengan ini, persetan denganmu, persetan semuanya. Mengapa kau begitu cemburu pada hal-hal kecil? Aku tidak bisa memiliki hubungan seperti itu Hazen, aku tidak bisa meyakinkanmu tentang cintaku setiap hari karena jika tidak, kau akan merasa tidak aman. Ini sangat melelahkan.” Reniene berdiri, menyibakkan selimutnya dan berbalik untuk pergi, namun segera dihentikan oleh cengkeraman kuat Hazen yang memegang tangannya.
“Apa kau ingat ketika kita mulai berkencan, Ren? Tujuh tahun lalu. Apa kau ingat hal pertama yang kau katakan padaku ketika aku mengajakmu kencan?”
“Aku-”
“Katakan Ren,” Cengkraman Hazen menguat, “Kau menghancurkan hatiku pertama kali. Kau tahu, keberanian yang kubutuhkan hanya untuk berbicara denganmu dan mengajakmu kencan, hanya untuk mendapatii jawaban…” Hazen mendorong tubuh Reniene hingga punggung lelaki itu menyentuh dinding kamar yang dingin.
“Aku sudah punya pacar.” Reniene memejamkan matanya seraya melanjutkan. “Aku berkata, 'Maaf. Aku sudah punya pacar.'”
“Tapi kemudian kau akhirnya menerima ku, dan kita melakukan ciuman pertama kita, bahkan sampai berhubungan seks. Beberapa kali... Kau pikir kau lajang saat itu? Apa kau-”
Reniene merasa matanya terbakar dengan air mata yang tak terbendung. “Kau benar!! Aku berselingkuh! aku berselingkuh untukmu karena aku mencintaimu, bukan dia. Dan aku merasa diriku menjijikkan dan bersalah dan seperti orang terburuk di dunia, tapi aku tetap melakukannya. Aku melakukannya! Dan sekarang kita di sini, tujuh tahun kemudian dan masih bersama dan aku pikir itu setimpal. Apa kau ingin menyebutku pelacur tak tahu malu karena itu? Ya, silakan. Tapi jangan pernah lupa aku melakukannya karena aku… aku sungguh-sungguh mencintaimu.” Cengkeraman Hazen di lengan Reniene mengendur sedikit demi sedikit. “Aku begitu memcintaimu! bahkan saat kau bosan denganku aku tetap menempel padamu! Saat kau selingkuh aku tetap memaafkanmu!”
“Sayang-”
Reniene menepis tangan Hazen dengan kasar, namun dengan cepat lelaki itu merengkuh tubuh Reniene kedalam pelukan. “Pernikahan ini begitu melelahkan Hazen, aku terus bertahan dari rasa sakit di masa lalu, dan sekarang kau di sini menuduhku seperti itu.”
Mata Hazen melebar dan berkaca-kaca. Reniene tak peduli lagi jika kedua pipinya sudah banjir penuh air mata. Hazen tak bermaksud seperti ini, tapi kadang-kadang ia tidak bisa menahannya. Perasaan was-was seolah memakannya hidup-hidup dan ia tak tahu bagaimana menghentikannya. Bukan cinta Reniene yang ia ragukan. Namun perasaan resah takut akan kehilangan membuat akal sehatnya telah hilang. “Aku mohon ma-”
“Tidak. Jangan bilang kau minta maaf, ” Ia terisak penuh frustrasi, kedua tangannya mengepal kuat-kuat. “Jangan bilang kau minta maaf, Hazen,” Reniene akhirnya melepaskan diri dari pelukan Hazen dan berjalan cepat ke arah pintu mengambil kunci serta jaketnya, lalu menyeka air matanya dengan kasar. “Maybe,” kata Reniene sebelum benar-benar pergi. ”Maybe we really need to think about the divorce.”
Mata Hazen melebar tak percaya. Tubuhnya seolah merosot ke tanah, kemudian terdengar suara pintu yang ditutup cukup keras hingga membuat Hazen kembali tersadar dan terlonjak dari tempatnya, lalu berlari mengejar Reniene secepat yang ia bisa.
“Sayang tunggu- Ren!”
Reniene terus menjauh, pandangannya nampak buram meski begitu langkahnya tak urung berhenti. “Jangan ikuti aku!”
“SAYANG!”
Itu adalah suara terakhir yang Reniene dengar sebelum semua berubah menjadi hitam pekat... gelap, sunyi dan dingin... Sendirian. Tak ada Hazen di sana, tak ada lagi senyuman hangat dari wajah lelaki yang ia cintai. Dan jauh di dalam hatinya ia berdoa;
Tuhan, tolong beri aku kesempatan sekali lagi. Beri aku kesempatan sekali lagi untuk mencintainya dalam kebahagian dan tanpa penyesalan...